Gempa Hari Ini
Kisah Tukang Becak saat Gempa Bumi Tsunami Pangandaran, Gemuruh Ombak 5 Meter Dikira Suara Pesawat
Seorang pengayuh becak di Pasar Wisata Pangandaran, Sarip (70), belum bisa melupakan gempa bumi dan tsunami Pangandaran pada 2006.
Penulis: Padna | Editor: Mega Nugraha
Laporan Kontributor Tribunjabar.id Pangandaran, Padna
TRIBUNJABAR.ID, PANGANDARAN - Seorang tukang becak di Pasar Wisata Pangandaran, Sarip (70), belum bisa melupakan gempa bumi dan tsunami Pangandaran pada 2006.
Peristiwa gempa bumi dan tsunami Pangandaran itu, berkekyatan 6.8 sr dengan pusat gempa berada di Samudera Hindia. Gelombang tsunami ketinggiannya tercatat hingga 5 meter dan menewaskan 668 jiwa.
Di usianya yang senja, pria yang lahir di Jawa Tengah ini masih kuat jadi tukang becak di Pangandaran. Awalnya, dia berprofesi sebagai nelayan. Namun, sejak 2000, dia beralih profesi jadi tukang becak.
Baca juga: Kisah Jenderal dan Tentara Siliwangi di Balik Masjid Witono di Ciamis yang Berarsitektur Unik
Sehari-hari, dia mangkal di Pasasr Wisata Pangandaran yang tidak jauh dari pantai barat.
Karena usianya yang sudah lansia, becak milikya dimodifikasi jadi cator atau becak motor.
Sarip bercerita, ketika terjadi bencana tsunami Pangandaran 2006 melanda Pangandaran yang sejak itu masih Kabupaten Ciamis.
"Di tempat ini saya berada, sewaktu ngabeca dan terjadi tsunami. Dulu Pasar Wisata ini masih baru," ujar Sarip saat ditemui Tribunjabar.id di depan Pasar Wisata Pangandaran, Senin (21/6/2021).
Tsunami Pangandaran berawal dari gempa dengan durasi yang seingatnya cukup lama.
"Setelah gempa, terus tak lama ada suara gemuruh kencang dari arah laut. Kita kira, itu suara pesawat Susi Pudjiastuti karena suaranya persis seperti suara pesawat," ucapnya.
Baca juga: Di Bandung, Rumah Ambruk Lalu Terbawa Arus Sungai Seusai Hujan Deras Disertai Petir
"Mana kapalnya, namun ternyata itu ombak besar (tsunami) yang datang setelah terjadinya gempa bumi," kata Sarip.
Saat terjadi tsunami, banyak warga yang kocar-kacir untuk mengevakuasi dirinya masing-masing.
"Kolot, barudak (orang tua, anak-anak) saling mengajak untuk menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Saya juga sempat membantu evakuasi menggendong anak bule," katanya.
Tempat untuk evakuasi itu, banyak yang kearah Wonoharjo dan Desa Pagergunung (lokasi perbukitan).
"Tinggi ombak tsunami dulu, itu setinggi pohon kelapa. Dahulu kan pohon kelapanya tinggi semua," ucapnya.