Gempa Bumi
Sembilan dari 10 Orang Jepang Tahu Cara Menyelamatkan Diri dari Gempa Bumi dan Bencana Alam
Pada 1 September 1923,misalnya ada gempa dahsyat yang menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Jepang.
Penulis: Adityas Annas Azhari | Editor: Adityas Annas Azhari
BEBERAPA hari lalu media ramai memberitakan tentang gempa bumi berkekuatan 7,3 magnitudo yang mengguncang Fukushima, Jepang, Sabtu (13/2). Gempa berpusat di kedalaman 60 kilometer di bawah permukaan laut di Fukushima itu tidak berisiko tsunami.
Pusat gempa berada dekat episentrum tahun 2011 yang memicu tsunami dahsyat dan merobohkan tiga reaktor nuklir.
Tidak ada korban jiwa dalam gempa tersebut dan kerusakan pun minim. Kementerian Luar Negeri RI menyatakan tak ada korban warga Indonesia. Pemerintah Jepang sudah mengecek reaktor nuklir itu dan tak ada kerusakan.

Bagi Jepang gempa bumi bukanlah hal baru. Negeri Sakura ini berulang kali diguncang gempa besar bahkan tsunami namun rakyat Jepang selalu siap siaga.
Negeri Matahari Terbit itu memiliki 6.852 pulau yang berada di sabuk api Pasifik. Sekitar 80 persen wilayah Jepang bergunung-gunung yang 50 persennya adalah gunung api.
Anggota DPR RI, H Sodik Mujahid, dalam khutbah Jumat di Masjid Darul Hikam Bandung sekitar setahun silam menceritakan pengalamannya bertemu sejumlah tokoh Jepang.
Baca juga: FOTO-FOTO Dahsyatnya Dampak Gempa Besar Jepang, Matikan Listrik Hampir 1 Juta Rumah, Kereta Berhenti
Menurut Sodik, sembilan dari 10 warga Jepang tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa.
Bangsa Jepang banyak belajar dari gempa sehingga tahu cara mengatasinya.
Pada 1 September 1923,misalnya ada gempa dahsyat yang menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Jepang. Gempa itu terjadi di wilayah Kanto yang meliputi Tokyo, Yokohama, dan prefektur (provinsi) sekitarnya berkekuatan 7,9 skala richter. Akibat dari gempa Kanto itu 99.331 orang tewas, 43.476 jiwa hilang, dan 103.7333 cedera.

Belajar dari banyaknya korban jiwa, Jepang tak mau jatuh pada lubang yang sama. Maka setiap 1 September ditetapkan sebagai hari pencegahan bencana nasional atau disaster prevention day.
Karena itu sejak 1960 setiap 1 September, rakyat Jepang berbondong-bondong mengikuti pelatihan penyelamatan dari bencana.
Baca juga: WAWANCARA EKSKLUSIF Irwan Meilano soal Potensi Gempa Megathrust 8,7 SM di Sesar Lembang
Pelatihan dilakukan serentak di mal-mal, perkantoran, sekolah, atau lapangan terbuka. Mereka yang dilatih untuk menyelamatkan diri dan juga menolong orang dari bencana itu mulai anak usia balita, SD hingga pekerja kantoran.
Tribun Jabar yang pernah mengikuti disaster prevention day di tepi Sungai Arakawa, Tokyo pada 2006, menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak TK dilatih menggunakan helm pengaman, jas hujan, dan menggunakan alat pemadam api ringan (APAR).

Pada hari itu juga warga bisa mencoba simulasi guncangan gempa hingga 7 Japan Meteorlogical Agency (JMA). Ini merupakan skala guncangan gempa tertinggi di Jepang. Untuk diketahui Jepang lebih sering menggunakan skala JMA daripada Skala Richter (SR).
Pendapat bahwa sembilan dari 10 warga Jepang tahu apa yang dilakukan saat bencana juga karena informasi tentang bencana diberikan sedetail mungkin ke publik.
Media di Jepang pun memberi informasi detail layanan publik saat bencana. Informasi tentang tempat dimana ada pembagian bantuan, tempat mengungsi, dan prakiraan cuaca kerap dirilis media.
Di ibukota Jepang juga ada Tokyo Metropolitan Goverment Disaster Prevention Center (TMGDPC) yang bermarkas di Gedung Tokyo Metropolitan Goverment (TMG) alias kantor gubernur Tokyo.
Baca juga: Dampak Gempa Besar di Jepang, 80 Orang Luka-luka dan Jalan Tol Ditutup Satu Arah
Di ruang TMGDPC tersedia layar 200 inci serta display peta dan data elektronik yang dapat memantau situasi wilayah saat terjadi gempa atau bencana lainnya.
Baik Jepang maupun Indonesia sama-sama berada di sabuk api pasifik yang rawan gempa dan bencana alam. Jepang memiliki Undang-undang (UU) penanggulangan bencana sejak 1961 dan Indonesia pun memiliki UU serupa yang terbit pada 2007. Namun implementasi UU dan bagaimana menyikapi bencana, negeri ini harus banyak belajar. (adityas annas azhari)