Menteri Keuangan Sri Mulyani Keluarkan Permen, Ada PPh atas Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer
Aturan tersebut berkaitan dengan kegiatan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) atas pulsa, kartu perdana, token.
Pengesahan diambil melalui Rapat Paripurna DPR yang digelar secara fisik dan virtual, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9/2020).
Rapat dipimpin Ketua DPR RI Puan Maharani dan dihadiri 76 orang secara fisik dan 295 anggota secara virtual.
Awalnya, Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto menyampaikan laporan pembahasan RUU Bea Materai.
Dito melaporkan, dari rapat terakhir antara Komisi XI dengan Kementerian Keuangan, terdapat delapan fraksi yang menyetujui RUU ini menjadi UU.
Sebanyak delapan fraksi itu adalah Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP.
"Sedangkan satu fraksi yaitu Fraksi PKS menolak hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Bea Meterai," kata Dito.
Setelah Dito menyampaikan laporannya, Puan meminta persetujuan apakah RUU Bea Materai dapat disahkan menjadi UU.
Meski ada satu fraksi yang menolak, mayoritas fraksi menghendaki pengesahan tersebut.
"Kami menanyakan kepada 9 fraksi. Apakah rancangan undang-undang bea materai dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan.
"Setuju," jawab peserta rapat.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mewakili pemerintah menyampaikan, hadirnya UU Bea Materai yang baru menjawab tantangan kebutuhan penerimaan negara yang meningkat serta perkembangan situasi dan kondisi yang ada di dalam masyarakat.
"Oleh karena itu untuk menjawab dan menyesuaikan dengan perkembangan tersebut serta mengantisipasi tantangan perubahan teknologi di masa yang akan datang pemerintah memandang perlu untuk melakukan pergantian undang-undang bea materai di dalam rangka melakukan penyesuaian terhadap kebijakan pengenaan bea materai, dengan tetap berpegang pada asas kesederhanaan efisiensi keadilan kepastian hukum dan kemanfaatan," kata Sri Mulyani.
Adapun, UU baru ini antara lain memuat pengaturan perluasan objek Materai, penyesuaian tarif, batas nilai nominal dokumen yang dikenai Bea Meterai, juga pengaturan penggunaan meterai elektronik dan meterai bentuk lain selain meterai tempel.
"Undang-Undang tentang Bea Meterai ini direncanakan akan diberlakukan mulai 1 Januari 2021 sehingga terdapat cukup waktu untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat," ujarnya.
Masih Bisa Digunakan
Materai dengan nilai Rp 3.000 dan Rp 6.000 masih bisa digunakan hingga 31 Desember 2021. Demikian diungkap Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo.
Disebutkan, pemerintah telah menetapkan tarif tunggal bea meterai sebesar Rp 10.000 per meterai mulai 1 Januari 2021. Namun, mengingat masih banyak meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000 yang beredar di pasaran, pemerintah memberikan relaksasi.
• Kembangkan Inovasi Dalam Penanganan Covid-19, Tiga Puskesmas Kecamaan di Jakut Terima Penghargaan
• Langgar Protokol Kesehatan, Satu Toko Herbal Disegel Satpol PP Kecamatan Koja
Masa relaksasi selama satu tahun. Artinya sampai dengan 31 Desember 2021. “Jadi ada transisi menghabiskan stok bea meterai yang belum terpakai kita beri ruang. Di sisi lain karena meterai sudah dicetak dan sebagian sudah beredar ini yang kita gunakan jadi kita transisikan,” kata Suryo dalam konferensi pers, Rabu (30/9/2020).
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Kemenkeu Arif Yanuar menjelaskan, jadi ada dua metode penggunakan meterai lama di tahun depan. Pertama, menempel meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000 dalam satu dokumen. Kedua, menempelkan dua meterai Rp 6.000 dalam satu dokumen.
• Sejumlah Maskapai Penerbangan Melakukan PHK Karyawan Dampak Pandemi Virus Corona, Berikut Daftarnya
• Stok Darah Kosong Selama Pandemi, Uus Kuswanto Wajibkan Seluruh ASN Pemkot Jakbar Donor Darah
“Masa transisi ini, meterai yang masih tersedia Rp 3.000 dan Rp 6.000 masih bisa digunakan untuk satu tahun ke depan dengan cara memateraikan dalam dokumen minimal nominal Rp 9.000,” kata Arif.
Nah, dokumen yang menggunakan relaksasi tersebut yakni dokumen yang memiliki nilai di atas Rp 5 juta. Hal ini sebagaimana menginduk dalam Undang-Undang (UU) Bea Meterai yang sudah diundangkan oleh DPR RI, Selasa (29/9/2020).
Cukai Rokok
Pemerintah sudah menetapkan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 1 Februari 2021.
Hal itu diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Konferensi Pers Kebijakan Cukai Rokok, Kamis (10/12/2020).
Dilansir setkab.go.id, Sri Mulyani menyebut kenaikan cukai rokok meliputi industri Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan 1 akan dinaikkan sebesar 18,4 persen.
Kemudian SPM golongan 2A dinaikkan 16,5 persen. SPM golongan 2B dinaikkan 18,1 persen.
Sementara itu, Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan 1 dinaikkan 16,9 persen. SKM golongan 2A dinaikkan 13,8 persen.
SKM golongan 2B dinaikkan 15,4 persen.
Sedangkan untuk industri Sigaret Kretek Tangan tarif cukainya tidak berubah atau kenaikannya nol persen.
Sri Mulyani menyebut kenaikan ini merupakan komitmen pemerintah menyeimbangkan dan mengendalikan konsumsi dari produk hasil tembakau.
“Dengan format kebijakan tersebut, maka hasil yang diharapkan dari kebijakan ini adalah dari sisi kesehatan," ungkap Sri Mulyani.
"Kenaikan dari CHT diharapkan akan mengendalikan konsumsi rokok, menurunkan prevalensi merokok terutama pada anak-anak dan perempuan,” imbuhnya.
Adanya kebijakan menaikkan tarif CHT nantinya, pemerintah menargetkan sumbangan penerimaan melalui cukai dalam APBN 2021 sebesar Rp 173,78 triliun
Oleh karena itu, pemerintah akan menyesuaikan kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Tahun 2021.
Penyesuaian ini untuk meredam dan memberikan dukungan kepada pihak yang terdampak akibat kenaikan CHT.
Kebijakan DBH CHT akan menyeimbangkan tiga aspek yaitu kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan penegakan hukum.
“Kita memberikan porsi 50 persen dari DBH CHT untuk tujuan peningkatan kesejahteraan sosial para petani dan buruh, 25 persen dari DBH CHT tahun 2021 tetap untuk aspek kesehatan, sedangkan 25 persen sisanya untuk penegakan hukum,” tegas Sri Mulyani.
Pada aspek kesejahteraan masyarakat, dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku dan pembinaan lingkungan.
Program tersebut antara lain untuk peningkatan kualitas bahan baku bagi petani, melakukan diversifikasi tanaman termasuk melaksanakan pelatihan dalam peningkatan kualitas tembakau, dan mendorong program kemitraan antara petani tembakau dengan perusahaan mitranya.
Kemudian, memberikan bantuan langsung tunai (BLT) bagi buruh tani tembakau dan buruh rokok, serta pelatihan profesi dan bantuan modal usaha.
Selain aspek kesejahteraan masyarakat, aspek kesehatan juga menjadi prioritas pemerintah.
Pada aspek ini meliputi bantuan iuran jaminan kesehatan nasional bagi keluarga yang tidak mampu, peningkatan kesehatan masyarakat melalui berbagai kegiatan promotif, preventif, maupun rehabilitatif dan kuratif.
“DBH CHT pada bidang kesehatan juga untuk mengurangi prevalensi stunting, upaya penanganan pandemi COVID-19, dan untuk pengadaan dan pemeliharaan prasarana kesehatan dan layanan kesehatan lainnya,” kata Menkeu.
DBH CHT pada aspek penegakan hukum digunakan untuk mencegah dan menindak produksi rokok ilegal termasuk membangun kawasan atau lingkungan sentra industri hasil tembakau.
Dengan adanya kawasan ini, diharapkan usaha kecil bisa terlindungi dan pengawasan terhadap produksi rokok ilegal dapat dijalankan secara lebih baik atau efektif. (*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Sri Mulyani Pungut Pajak Pulsa, Kartu Perdana hinga Token Listrik Mulai 1 Februari,Harga Bakal Naik?