Buruh Cantik di Kota Bandung Tanggapi UU Cipta Kerja yang Dinilainya Sengsarakan Buruh
Ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh
Penulis: Cipta Permana | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Cipta Permana
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia(FSP TSK SPSI) PT. Masterindo Jaya Abadi Kota Bandung menggelar aksi unjuk rasa lanjutan penolakan Omnibuslaw Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Kota Bandung, Kamis (8/10/2020).
Mengenakan seragam biru dengan logo serikat pekerta juga masker, massa aksi yang didominasi oleh kaum perempuan tersebut, menyampaikan aspirasinya dengan cara berorasi sambil membentangkan spanduk bertuliskan "Menolak Keras Omnibuslaw Cilaka Yang Merampas Hak dan Kesejahteraan Buruh"
Dari sejumlah peserta aksi terdapat sosok-sosok yang cukup menarik perhatian di antara kerumunan massa yang tengah berorasi yaitu, para buruh muda berparas cantik yang rela bertaruh peluh di bawah terik matahari, guna memperjuangkan hak dan nasib kesejahteraan bagi diri dan keluarganya masing-masing.
Salah seorang buruh, Septin Lestari (31) mengatakan, alasannya ikut menjadi bagian dari peserta aksi unjuk rasa, karena menilai Omnibuslaw Undang-Undang Cipta Kerja sangat merugikan bukan hanya bagi buruh tapi juga masyarakat umum lainnya, khususnya yang berekonomi lemah.
Kondisi ini pun menurutnya, berpotensi memberi dampak bagi tingkat daya beli masyarakat dan berpengaruh pada kondisi ekonomi nasional.
• Mahasiswa Saya yang Ikut Demo Tolak UU Cilaka, Mata Kuliah Gersos dan Pembangunan Saya Kasih Nilai A
"Yang memberatkan dari peraturan Omnibuslaw ini adalah, segala hak buruh seraya dirampas karena hampir semua dihilangkan, terus mau jadi apa atuh negara ini kalau tidak berpihak kepada rakyatnya," ujarnya saat ditemui di sela aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kota Bandung.
Septin menuturkan, salah satu pasal yang dinilai tidak adil bagi kesejahteraan buruh yaitu, hilangnya kesempatan cuti hamil, dimana setelah melahirkan, buruh perempuan harus langsung kembali bekerja dan menjalani aktivitas pekerjaannya di industri.
"Yang kami nilai tidak adil dan menyengsarakan contohnya, hilangnya cuti hamil, masa iya kita (buruh perempuan) setelah mengandung sembilan bulan dan melahirkan harus langsung masuk kerja, kan aneh, apalagi yang namanya melahirkan itu adalah luka dalam yang seharusnya dipulihkan dengan cara istirahat," ucapnya perempuan kelahiran Magetan, 29 September 1989 tersebut.
Selain hilangnya kesempatan cuti hamil yang turut dipersoalkan adalah aturan terkait pengupahan, dimana dalam salah satu pasal dijelaskan bahwa pengupahan buruh mengikuti aturan batas upah terendah di kabupaten/kota. Yang mana upah terendah Kota Bandung saat ini Rp. 1,800.000 per bulan.
• Mahasiswa Tutup Perempatan Dago-Sulanjana Bandung Sore Ini, Aksi Duduk Tolak UU Cipta Kerja
"Dengan upah segitu (terendah) apa iya kita mampu hidup selama sebulan, sementara pengeluaran untuk kebutuhan hidup lainnya seperti beli susu anak, pendidikan dan lain-lain, apalagi kalau yang punya anak lebih dari satu tentu pengeluaran jauh lebih besar dari upah yang kita peroleh. Jadi harapan kami cuma ingin Undang-Undang Omnibuslaw ini di batalkan oleh pemerintah," katanya.
Hal senada disampaikan oleh Lina Lestari (29) salah seorang peserta aksi serupa di DPRD Kota Bandung. Menurut, perempuan kelahiran Bandung, 31 Januari 1991 itu, Omnibuslaw harus segera dibatalkan. Pasalnya Undang-Undang yang baru di sahkan tersebut, sangat menyimpang dari Undang-Undang sebelumnya yang menjadi acuan dari para pekerja/buruh. Selain itu, kebijakan Omnibuslaw pun dinilai lebih memihak kepada para pengusaha dibandingkan kesejahteraan nasib para buruh.
"Salah satu bukti Undang-Undang ini lebih berpihak kepada pengusaha dibandingkan para buruh adalah, hilangnya pesangon saat kita di PHK atau berhenti bekerja, termasuk tunjangan-tunjangan lainnya. Masa kita sudah kerja bertahun-tahun hingga puluhan tahun tidak ada penghargaannya sama sekali dari perusahaan bila mengikuti aturan ini, padahal pesangon ini sangat diharapkan para pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, Lina pun mempersoalkan hilangnya hak cuti hamil 3 bulan yang menjadi hak bagi para buruh perempuan dengan tetap mendapat upah dari perusahaan. Dimana, dalam kebijakan Omnibuslaw, hak tersebut menjadi bagian yang turut dihilangkan.
"Dengan kondisi-kondisi itu, wajar bila kami merasa Omnibuslaw ini harus dibatalkan, karena sangat merugikan bukan hanya bagi buruh, tapi pekerja di sektor lainnya," katanya.
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, bebarapa perwakilan aksi dipersilahkan masuk ke dalam Gedung Dewan untuk menyampaikan aspirasinya dan diterima langsung oleh Ketua DPRD Kota Bandung, Tedy Rusmawan dan Wakil Ketua DPRD, Edwin Senjaya di ruang tunggu DPRD Kota Bandung.