Taufik Faturohman Laporkan Didin Tulus ke Polisi, di Facebook Sebut Jual Paksa Buku Bahasa Sunda

Seorang pria bernama Didin Tulus, warga Kota Cimahi, disebut-sebut sebagai pegiat literasi di Kota Bandung

Penulis: Mega Nugraha | Editor: Ichsan
Pixabay
Facebook. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha

TRIBUNJABAR.ID,BANDUNG - Seorang pria bernama Didin Tulus, warga Kota Cimahi, disebut-sebut sebagai pegiat literasi di Kota Bandung, dilaporkan ke Satreskrim Polrestabes Bandung karena perbuatannya di media sosial dianggap mencemarkan nama baik.

Dia dilaporkan Taufik Faturohman‎, pimpinan penerbit buku CV Geger Sunten pada 6 Juli 2020. Didin sendiri sudah menjalani pemeriksaan di Mapolrestabes Bandung pekan lalu.

Dihubungi via ponselnya, Minggu (27/9/2020) Taufik Faturohman  menjelaskan duduk perkara pelaporan tersebut yang berawal dari saling komentar di akun Facebook Aan Merdeka Permana yang menulis soal buku yang ia akan hadiahkan ke sebuah sekolah di Sukabumi, tetapi oleh sekolah tersebut ditolak.

‎Kemudian, Didin Tulus mengomentari postingan itu dengan menyebut bahwa dia punya anak di sekolah Madrasah Ibtidaiyah, diwajibkan membeli buku Bahasa Sunda karangan Tatang Sumarsono dan Hadi AKS dua kali dalam setahun.

Kemudian, jika tidak membeli, anaknya diancam tidak naik kelas. Buku Tatang Sumarsono tersebut diterbitkan oleh CV Geger Sunten.

Makin Banyak yang Positif Covid-19, Pusat Isolasi RSU dr Soekardjo Kota Tasikmalaya Mulai Penuh

Dalam komentar di akun Aan Merdeka Permana tersebut, Didin mentag akun Tatang Sumarsono, kemudian Tatang mentag lagi akun Taufik‎ Faturohman. Meski nama Taufik tidak disebut, buku tersebut diterbitkan CV Geger Sunten.

"Kemudian saya bertanya ke Didin, di sekolah mana yang ada jual paksa seperti itu? Maksud saya bertanya, untuk memastikan kalau masih ada sekolah yang menjual buku terbitan CV Geger sunten secara paksa dengan ancaman, kepala sekolah dan marketing kami akan saya tegur," ucap Taufik.

Menurutnya, komentar Didin itu punya beberapa kelemahan. Pertama, Hadi AKS tidak ikut mengarang buku tersebut, melainkan hanya Tatang Sumarsono.

Kedua, buku dimaksud untuk satu tahun, bukan buku semesteran yang dijual setahun dua kali. Ketiga, sudah empat tahun berjalan, buku tidak dijual ke murid apalagi dijual dengan ancaman jika tidak beli tidak naik kelas, melainkan dibeli menggunakan dana BOS, dan saat ini penjualannya melalui aplikasi Siplah.

"Jadi, keliru jika Didin menyebut ada sekolah mengancam murid tidak naik kelas jika tidak beli buku itu. Lagian, kalau Didin keberatan soal pemaksaan tersebut karena alasan ekonomi, protesnya harus ke sekolah, bukan ke pengarang bukunya," ucap Taufik.

Kemudian, dia ikut mengomentari postingan komentar Didin Tulus dengan menanyakan dimana sekolah tersebut. Itu dilakukan beberapa kali.

Ini Bentuk Janda Bolong yang Dijual Rp 100 Juta, Dulu Tanaman Pinggir Jalan yang Tidak Dilirik

‎Alih-alih menjawab, kata Taufik, Didin malah mempostingan komentar baru yang mengatakan ia tidak senang dengan adanya budayawan menjadi mafia buku pelajaran bahasa Sunda.

Taufik bertanya pada Didin Tulus. Siapa yang dimaksud budayawan mafia tersebut. Namun, Didin tetap tidak menjawab, malah berkomentar lagi bahwa mafia buku pelajaran bahasa Sunda harus dibubarkan.

"‎Saya tidak merasa jadi budayawan, cuma pada tahun 2013 pernah diberi Anugerah Budaya oleh Pemprov Jabar. Dia memang tidak menyebut nama, tapi postingannya tendensius," ujar dia.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved