Wawancara Eksklusif

WAWANCARA EKSKLUSIF Dengan Duta Besar Singapura Suryopratomo: Berkah Nasihat Jakob Oetama

MENJADI duta besar bukanlah cita-cita atau ambisi yang ada di benak wartawan senior Suryopratomo. Nyatanya, dia baru saja dilantik jadi duta besar.

Penulis: Kisdiantoro | Editor: Kisdiantoro
Tribunjabar.id
COFFEE MORNING - Acara talk show Coffee Morning Tribunjabar.id menghadirkan nara sumber Duta Besar RI untuk Singapura Suryopratomo. 

Jawa Barat itu banya derah yang indah. Wisatanya banyak. Jadi bagiamana agar orang Singapura, atau orang-orang yang singgah di sana juga bisa ditarik ke Jawa Barat? Itu perlu ada hal yang menarik untuk dikunjungi.

Misal, perlu usaha agar tempatnya bersih, menyelesaikan masalah kemacetan. Saya kira Gubernur Ridwan Kamil sudah sangat paham. Nanti kami bisa berdiskusi apa yang bisa dilakukan untuk memajukan dunia usaha dan wisata di Jabar.

Masjid di Dago Bandung Dilempari, Pelaku Pakai Sarung, Telanjang Dada & Berteriak, Kita ke Mekah

Kembali ke dunia wartawan, mengapa Anda memilih dunia wartawan, padahal orangtua ingin Anda menjadi dosen?

Keluarga memang latar belakang pendidikan. Bahkan ayah saya pernah membangun sekolah di Bandung. Ayah juga meminya saya untuk melanjutkan S2 dan doktor. Setelah selesai di IPB, saya memang melanjutkan S2. Setelah itu, saya bilang ke orangtua, biarkan saya mencari pengalaman dan bekal. Lalu melamarlah saya menjadi wartawan Kompas.

Anda berhasil melewat semua jenjang karier di dunia wartawan, bahkan pernah mejadi pemimpin redaksi menggantukan pak Jakob Oetama, bagimana Anda meraihnya?

Menjadi wartawan Kompas, kami selalu didorong untuk maju, tapi tidak untuk mencari jabatan. Sebab ukuran wartawan adalah karya. Di Kompas saya diberi banyak kesempatan untuk meliput, termasuk desk olahraga. Kekeluargaan yang begitu baik yang membua saya betah dan mencintai profesi wartawan.

Ketika Pak Jakob Oetama mengatakan ingin menyerahkan jabatan Pemred, kami bertiga di Kompas dipanggil. Ada wartawan senior yang bergabung dengan Kompas sejak awal. Hebatnya, dia mengatakan bahwa pimpinan Kompas itu tidak harus berdasarkan senioritas, tapi siapa uang mampu menjalankan tugas tersebut. Dia mengatakan, pimpinan Kompas harus orang muda, yang enerjik dan kuat. Lalu dipilihkan saya.

Apa nilai-nilai yang Anda pegang dari proses selama puluhan tahun menjdi wartawan?

Menjadi wartawan itu menulis. Pak Jakob sudah menjadi Pemred dan Pemimpun Umum, dia tetap menulis. Menulis itu ibarat belajar piano atau belajar sepeda. Kalau setiap hari berlatih maka akan terampil.

Kita melihat peristiwa menjadikan sebuah fenomena, memaknai, dan menuliskan pesan apa yang hendak kita sampaikan. Pak Jakon tak pernah berhenti melakukan itu.

Tak Pakai Masker Dihukum Menyapu Jalan, Yusuf Malah Senang, Sudah Biasa Menyapu Lantai

Kedua, menjadi wartawan kita terus berinterkasi dengan narasumber, mulai dari sumber kelas bawah sampai menteri dan presiden. Itu harus dijaga, sehingga networking akan terbangun.

Wartawan itu harus punya passion atau keingin, kemauan, lalu dilengkapi dengan pengetahuan, maka wartawan harus terus belajar. Itu akan membuat kita menjadi kaya pengetahuan.

Ada lagi?

Terus belajar menulis, karena wartawan perlu jam terbang. Pengalaman yang baik itu akan menjadikan wartawan tidak melakukan kesalahan.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved