IKA UPI Mendesak Nadiem Makarim Jadikan Sejarah Menjadi Mata Pelajaran Wajib
Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia Komisariat Departemen Pendidikan Sejarah (IKA Pendidikan Sejarah UPI)
Penulis: Muhamad Syarif Abdussalam | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Syarif Abdussalam
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia Komisariat Departemen Pendidikan Sejarah (IKA Pendidikan Sejarah UPI) mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan menengah, yakni SMA, SMK, MA, dan MAK.
Desakan ini merespons berbedarnya draft penyederhanaan kurikulum yang tengah digodok tim bentukan Menteri Nadiem. Dalam draft tersebut, mata pelajaran sejarah hanya menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial di kelas X dan menjadi mata pelajaran pilihan di kelas XI dan XII. Sementara di SMK, rancangan penyederhanaan kurikulum tidak mencantumkan adanya mata pelajaran sejarah.
“Kami menolak dengan tegas reduksi mata pelajaran sejarah sebagaimana tertuang dalam rancangan penyederhanaan kurikulum. Sebaliknya, kami menuntut dikembalikannya sejarah sebagai mata pelajaran wajib pada seluruh jenjang pendidikan menengah, SMA/SMK/MA/MAK,” kata Ketua IKA Pendidikan Sejarah UPI Prof Dr Dadan Wildan, M.Hum, melalui siaran digital yang diterima, Minggu (20/9/2020).
Dadan juga mendesak Menteri Nadiem melakukan evaluasi total terhadap proses penyederhanaan kurikulum yang dilakukan lembaga nonpemerintah dan mengembalikan proses tersebut kepada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud sebagai badan resmi di bawah Kemdikbud sesuai dengan tugas dan fungsinya.
• Arus Lalu Lintas di Jalur Puncak Turun 70 Persen, Kendaraan Pelat Jakarta Diminta Putar Balik
Sebagai gantinya, sejarawan anggota penulis buku Sejarah Jawa Barat ini meminta Kemdikbud melibatkan para pakar pendidikan dan pengembang kurikulum dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), para praktisi, asosiasi profesi, dan asosiasi program studi dalam proses penyederhanaan kurikulum.
Menurutnya, tuntutan yang disampaikan kepada Mendikbud salah satunya dalam bentuk surat ini bukan semata-mata aspirasi alumni Pendidikan Sejarah UPI, melainkan hasil kajian mendalam dalam webinar yang dihelat Kamis, 17 September 2020. Webinar hasil kolaborasi dengan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Forum Komunikasi Guru IPS Nasional, dan Perkumpulan Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI) ini mengusung tema “Matinya Sejarah: Kritik Terhadap Rancangan Kurikulum 2020”.
Webinar diikuti lebih dari 5.000 peserta melalui platform Zoom dan live streaming kanal Youtube Ikatan Alumni UPI. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari jumlah pendaftar sebanyak 2.763 orang. Terdiri atas 1.441 guru Sejarah, 394 guru IPS, 451 mahasiswa, 179 dosen, 28 peneliti sejarah, dan 270 peserta umum. Tercatat lebih dari 1.000 sekolah asal institusi pendaftar dan 150 lainnya berupa perguruan tinggi dan lembaga lintas kementerian.
• Geliatkan Ekonomi Saat Pandemi, Energi Terbarukan Dari Limbah Kayu Ini Siap Masuk Pasar Global
Webinar menghadirkan narasumber Guru Besar Pendidikan Sejarah UPI/Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 Prof. Dr. Said Hamid Hasan, MA; Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia/Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Dr. Restu Gunawan, M.Hum.; Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud Maman Fathurrohman, Ph.D.; Pendiri dan Pembina P3SI/Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UPI Dr. Agus Mulyana, M.Hum.; Presiden AGSI Dr. Sumardiansyah Perdana Kusuma.
“Begitu mendapat informasi terkait draft penyederhanaan kurikulum yang di dalamnya mereduksi mata pelajaran sejarah, kami langsung mendiskusinyanya melalui grup percakapan WhatsApp. Diskusi ini dilanjutkan dengan webinar yang di dalamnya menghadirkan narasumber sesuai kualifikasi profesionalnya. Alhamdulillah mendapat sambutan luar biasa. Ini menunjukkan bahwa perhatian masyarakat terhadap pelajaran sejarah sangat tinggi,” kata Dadan.
Lebih jauh Dadan menjelaskan, pada dasarnya IKA Pendidikan Sejarah UPI mendukung penyederhanaan kurikulum sebagai bagian dari respons terhadap dinamika sosial, kebangsaan, maupun perkembangan teknologi dan tantangan global yang dihadapi. Namun demikian, penyederhanaan kurikulum hendaknya tetap mengacu kepada kepentingan nasional dan pembentukan karakter bangsa.
Mengutip paparan Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 Said Hamid Hasan pada saat webinar, Dadan menegaskan, asumsi bahwa beban kurikulum nasional terlalu berat yang menjadi dasar penyederhanaan kurikulum adalah sebuah kekeliruan.
Perbandingan jumlah mata pelajaran antara kurikulum nasional dengan kurikulum di sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Inggris, Jerman, dan Finlandia menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran di Indonesia pada seluruh jenjang pendidikan tidak lebih banyak dari jumlah mata pelajaran di negara yang dijadikan perbandingan.
“Bahkan, jumlah mata pejajaran di Indonesia pada jenjang SD dan SMP tercatat paling sedikit. Sementara untuk jenjang SMA memiliki jumlah yang sama dengan negara lain, hanya lebih sedikit dari Malaysia dan Inggris,” kata Dadan.
Mata pelajaran sejarah, sambung Dadan, penting untuk diajarkan pada seluruh jenjang pendidikan. Arti penting Sejarah Indonesia terletak pada fungsi yang melekat pada sejarah itu sendiri. Yakni, mengembangkan jati diri bangsa, mengembangkan collective memory sebagai bangsa, mengembangkan keteladanan dan karakter dari para tokoh, mengembangkan inspirasi, mengembangkan kreativitas, mengembangkan kepedulian sosial bangsa, membangun nasionalisme yang produktif.
• Kecelakaan Maut di Tol Cipularang, Mobil Pengangkut Roti Tabrak Truk, 2 Orang Meninggal, Ini Namanya