Selama Agustus 2020, Ratusan Perempuan Gugat Cerai Di Pengadilan Agama Bandung
kasus perkara adalah cerai gugat dari pihak perempuan yang mencapai sekitar 2.843 gugatan.
Penulis: Ery Chandra | Editor: Siti Fatimah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengadilan Agama Kota Bandung mencatat perceraian di Kota Bandung pada bulan Agustus 2020 angkanya mencapai sekitar 3.660 perkara.
Dari jumlah tersebut, kasus perkara adalah cerai gugat dari pihak perempuan yang mencapai sekitar 2.843 gugatan.
Sedangkan, perkara yang diajukan pihak laki-laki berjumlah 817 cerai talak.
"Hingga 26 Agustus 2020 PA Kota Bandung telah menerima 532 gugatan perceraian. Dari jumlah tersebut, sebanyak 448 perkara sudah diputus oleh pengadilan," kata Juru Bicara Pengadilan Agama Kota Bandung, Subai di Bandung, Kamis (3/9/20200).
Tingginya gugatan cerai dari pihak perempuan, menurut pemerhati isu gender dan anak Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Hani Yulindrasari, angka cerai gugat lebih tinggi daripada cerai talak mengindikasikan perempuan jadi pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam sebuah hubungan pernikahan.
"Laki-laki dipandang sebagai pihak yang perlu dilayani, dipahami, dimengerti hingga perlu ditaati. Ini adalah konstruksi pernikahan yang patriarkis," katanya, saat dikonfirmasi via ponsel, di Kota Bandung, Kamis (3/9/2020).
Kondisi tersebut, menurut Hani terjadi ketika struktur pernikahan patriarkis dimana perempuan kerap menjadi pihak tersudutkan.
Hal ini bisa terjadi tidak saja ketika masih menikah, namun pasca perceraian.
Karena itu, pada saat terjadi perceraian, kesalahan hingga stigma melekat kerap ditimpakan kepada perempuan.
"Perempuan mengalami perceraian dianggap gagal dalam melayani suami, gagal bersabar atas cobaan rumah tangga atau dianggap terlalu neko-neko, tidak menerima," katanya.
Bila melihat tingginya angka cerai gugat, ia menilai perempuan membutuhkan soal kejelasan status.
Dalam kasus perceraian, secara administratif perempuan bisa dianggap menjadi pihak lebih membutuhkan surat cerai daripada laki-laki.
Namun pihaknya juga melihat masih adanya fenomena cerai talak secara agama.
Kondisi ini menurutnya merugikan kedua belah pihak karena tidak diselesaikan melalui hukum yakni melalui pengadilan agama.
"Cerai talak secara agama, ada kesan digantung statusnya (cerai tapi tanpa bukti surat cerai). Karena itu, tingginya angka cerai gugat tetap harus ditinjau lebih mendalam serta diinterpretasikan dengan hati-hati. Seringkali gugatan itu hasil kesepakatan bersama, dengan pertimbangan yang beragam," katanya.