Keraton Kasepuhan Cirebon, Wayang Kulit Pusaka Berusia 500 Tahun Hingga Kini Masih Dimainkan
Wayang kulit pusaka peninggalan ratusan tahun lalu hingga kini masih tersimpan di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan
Penulis: Ahmad Imam Baehaqi | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Ahmad Imam Baehaqi
TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Wayang kulit pusaka peninggalan ratusan tahun lalu hingga kini masih tersimpan di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
Wayang kulit peninggalan Sunan Gunung Jati itupun rutin dibersihkan setiap bulannya dalam tradisi Ngisis.
Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat, mengatakan, hingga kini wayang kulit pusaka itupun masih dimainkan.
Biasanya, menurut dia, wayang kulit tersebut dimainkan setahun sekali, tepatnya pada bulan Muharam penanggalan hijriyah.
"Biasanya di tanggal 1 Muharam, atau tanggal lainnya di bulan itu," kata Arief Natadiningrat saat ditemui usai tradisi Ngisis, Kamis (9/7/2020).
• Mereka yang Salat Asar Berjemaah dengan Orang Positif Covid-19 di Sumedang Langsung Di-Swab Test
Ia mengatakan, pagelaran wayang kulit itu digelar untuk memperingati haul Sunan Gunung Jati.
Dalang yang memainkan wayang pusaka itupun turun-temurun sejak dulu.
Bahkan, pementasan wayang kulit itupun biasanya digelar semalam suntuk.
"Pementasan wayang kulit pusaka itu sudah menjadi tradisi di Keraton Kasepuhan," ujar Arief Natadiningrat.
Menurut dia, jumlah wayang kulit berusia 500 tahun itu mencapai 200 buah.
Ratusan wayang kulit itu tersimpan rapih di kotak penyimpanan khusus di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan.
Arief mengakui pagelaran wayang kulit itu merupakan salah satu adat tradisi yang dihelat di Keraton Kasepuhan.
Adat tradisi tersebut juga diketahui telah berlangsung selama ratusan tahun silam dan hingga kini masih dilestarikan.
• Raja Tega, Ajakan Berhubungan Intim Ditolak Mantan Istri, Noah Emosi dan Bakar Kamar Ketiga Anaknya
"Memang perlu kesabaran, kerajinan, dan kepedulian yang tinggi sehingga kebudayaan kita sendiri tidak sampai luntur di era sekarang," kata Arief Natadiningrat.