Wabah Virus Corona

Pasien Baru Dinyatakan Positif Usai Meninggal, Para Peneliti: Kemenkes Something What Happened?

Para peneliti Indonesia mempertanyakan lambannya penanganan dan lambatnya hasil tes pasien Covid-19 di Indonesia kepada Kemenkes, begini penjelasannya

Penulis: Hilda Rubiah | Editor: Ravianto
(Shutterstock)
Ilustrasi: perawatan pasien yang positif terinfeksi virus corona 

Para peneliti Indonesia mempertanyakan lambannya penanganan dan lambatnya hasil tes PDP Covid-19 di Indonesia kepada Kemenkes, begini penjelasannya

TRIBUNJABAR.ID - Wabah pandemi Covid-19 di Indonesia, tak sedikit nyawa yang tak terselamatkan.

Pasien yang dalam pengawasan meninggal sebelum hasil tes lab Covid-19 keluar.

Banyak yang menilai hal ini karena lambatnya penanganan.

Para peneliti pun menyadari lambatnya pengananan dan hasil tes yang lama keluar pada akhirnya dipertanyakan.

Gara-gara Pasien Tidak Jujur, 21 Tenaga Medis di RST Ciremai Cirebon Terpaksa Jalani Isolasi Mandiri

Seperti yang tersiar dalam tayangan Narasi Newsroom (19/4/2020).

Para peneliti menilai pangkal banyaknya nyawa tak terselamatkan karena pula minimnya transparansi data.

Lantas bagaimana penjelasan para peneliti mengenai hal ini?

Dikutip dari tayangan Narasi Newsroom, Dokter Aman Bhakti Pulungan menyadari kondisi lambatnya penanganan Covid-19 di Indonesia.

Dokter Aman Bhakti Pulungan merupakan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Ia pun membuka suara untuk memberikan masukan kepada pemerintah.

Termasuk menyelamatkan teman serta masyarakat akibat terdampak masalah ini.

Ia merasa pemerintah masih tertutup memberikan data.

Menurut Dokter Aman Bhakti Pulungan, pihaknya sebagai tenaga medis untuk menangani sangat perlu diagnosa hasil pasien positif atau negatif.

Sementara itu pasien Covid-19 terkadang masih harus berebut fasilitas dengan pasien lainnya.

Pasien secara klinis membaik pada akhirnya boleh dipulangkan.

Namun masalahnya, ketika pasien tersebut dipulangkan sementara hasil tes belum keluar.

Sehingga setelah beberapa hari di rumah, hasil tes baru bisa keluar.

Soal data, sebagai tenaga medis pihaknya tidak meminta data untuk diekspos ke publik.

Hanya saja, jelasnya, banyaknya keluhan lambatnya penanganan dan lambatnya hasil tes diumumkan.

"Jadi, kita itu ketika merawat SOP-nya harus betul-betul PDP Covid-19, full APD, dan kita tidak bisa main-main," ujar dr Aman Bhakti Pulungan.

Provokator Penolak Jenazah Korban Covid-19 di Majalengka Akan Dikenai Pasal 212 dan 214 KUHP

Hasil pasti apakah PDP positif atau negatif menurutnya sangat tergantung pada penanganan SOP secara benar.

"Nah, sata melihat kekurangmampuan kita memberikan data (hasil tes) ini secepat mungkin," tegasnya.

Pangkal dari lambatnya hasil tes itu membuat kapasitas tes Litbangkes menjadi sorotan.

Sebelumnya Achamd Yurianto mengklaim Litbangkes bisa menetes sampel hingga ribuan.

Namun faktanya, rata-rata sampel bisa diuji per Maret saja hanya bisa diambil 225 sampel per harinya.

Hal ini dicurigai disebabkan prsedur konfirmasi lab yang berbelit.

Kondisi ini pun sempat dikritisi oleh para ahli Biologi Molekuler.

Sejak Maret lalu, para ahli dan peneliti banyak mengkritis hasil tes dianggap terlalu lama.

Hal itu pun diungkap ahli Biologi Molekuler, Dr Ahmad Rusdjan Utomo.

Masih dikutip dari sumber yang sama, Dr Ahmad Rusdjan Utomo menjelaskan setelah prosedur RT PCR di Indonesia ada penambahan satu langkah.

Yakni adanya prosedur disequesncing.

Padahal menurutnya, tidak ada dalam panduan setelah RT PCR di China, Amerika maupun negara lainnya adanya prosedur disequesncing.

Ia mengaku kaget, karena menurutnya real time PCR sangat sensitif.

Sementara itu sequesncing tidak dianggap sensitif real time PCR.

"Bagaimana kita memvalidasi sesuatu dengan yang less sensitive,

Itu Beyond me, saya enggak bisa paham itu," ujarnya.

Ada Warga Positif Covid-19, Warga di Astanaanyar Kota Bandung Pun Saling Tutup Akses Jalan

Lanjut Dr Ahmad menjelaskan, sequesncing memang perlu dilakukan namun bukan untuk layanan diagnostik.

Sequesncing perlu dilakukan hanya untuk mengetahui tracking penulusran penyebaran virus dari daerah mana.

Sementara itu, menurutnya yang dibutuhkan tenaga medis sekarang adalah segera menentukan hasil tes Covid-19 pada pasien.

Bila hal ini bisa dibenahi menurut Dr Ahmad, 1 x 24 jam diharapkan hasil tes sudah bisa keluar.

Hal inilah juga menurutnya masalah penyebab banyaknya PDP meninggal sementara hasil tes baru keluar.

Menanggapi soal adanya satu step prosedur sequenscing, dijelaskan Prof Herawati Sudoyo Ph.D, ahli Biologi Molekular Eijkman.

Ia menjelaskan memang betul sequenscing dilakukan untuk mengetahui sumber virus dari negara asal.

Menurutnya itu perlu dilakukan karena bila PCR saja itu tidak cukup.

Prof Herawati Sudoyo mengatakan prosedur yang dilakukan Kemenkes itu dengan sequenscing masih dianggap kompleks.

Prof Herawati menjelaskan selain mengetahui hasil pihaknya tidak mengesampingkan riset.

Namun ia pun menyadari bila kasusnya banyak, maka hal itu pun menjadi tekanan untuk semua.

"Kita harus cepat menyelesaikan, karena ini berhubungan dengan pasien yang dirawat.

Jadi kita main kejar-kejaran satu sisi deteksi di sisi lain kita juga tidak boleh lupa dengan riset," jelasnya.

Pada akhirnya, Kemenkes menyadari sequenscing dihapuskan.

Kemenkes pun mengeluarkan pedoman atau panduan terbaru tanpa sequenscing.

Karenanya dalam keadaan saat ini kecepatan data hasil tes pun menjadi kunci.

Namun setelah dihapusnya sequenscing munculnya masalah baru.

Lantas kemanakah data sequenscing sebelum protap itu dihapuskan?

Sementara para peneliti dunia rutin membagikan data genome sequenscing SARS N-COV2.

Mereka membagikan data tersebut kepada publik melalui platform GISAID.

GISAID sebuah lembaga non profit tempat berbagi data mengenai influenza di dunia.

Indonesia hingga saat ini belum tampak membagikan data tersebut.

Hal ini pun diakui Prof Herawati Sudoyo Ph.D, ahli Biologi Molekular Eijkman.

Pihaknya sebagai peneliti belum mendapatkan data tersebut dari pemerintah.

Data yang seharusnya menjadi hasil jurnal ilmiah para peniliti akhirnya dibuat kesulitan mengakses data.

Dr Ahmad mengatakan seharusnya pada momen ini peneliti Indonesia berkontribusi mempublikasikan jurnal ilmiah sebaik-sebaiknya.

Sayangnya kini hal itu terhambat karena kurangnya transparansi data dari pemerintah.

"Kemenkes yang periode ini, saya enggak mengerti what happened ya.

Saya mikirnya Indonesia itu sebenarnya gudang penelitian

Selama dua bulan lalu kita kuasa Covid-19.

Harusnya kalau Kemenkes yakin data itu, ya mereka publikasikan dong," Dr Ahmad.

Something happened lah, somehow periode ini agak-agak unik," sambungnya.

Berikut video lengkapnya:

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved