Breaking News

Bagaimana Peta Bisnis Tahun 2020? Ini Prediksi yang Dipaparkan Sharing Vision

Tahun 2019 perkembangan bisnis Tanah Air dipenuhi hadirnya ratusan startup baru serta banyaknya transformasi bisnis luring ke daring terus bergerak

Penulis: Kemal Setia Permana | Editor: Dedy Herdiana
Istimewa
Nur Islami Javad, Chief Digital E-Commerce Fintech (DEF) Sharing Vision (Kiri) memaparkan prediksi bisnis tahun 2020 di Jalan Badak Singa, Selasa (24/12/2019) 

Terutama lembaga–lembaga keuangan yang tidak hanya menggunakan data internal perusahaan, tetapi juga dari data pasar dan alternattif data, semisal historis pembayaran, historis chatting, dan lain-lain.

"Walaupun adopsinya meningkat, tetapi masih banyak perusahaan kesulitan mengambil manfaat nilai dari data yang diperoleh. Selain itu, penggunaan big data yang meningkat menemui isu masalah legalitas. Situasi ini terjadi karena data scientist di Indonesia yang mumpuni masih sedikit," ujarnya.

Berdasarkan survei Sharing Vision di Indonesia, kata Jeff, sebanyak 74 persen responden berminat mengadopsi big data. Tak satu pun yang meragukan potensi keberhasilan big data dalam menunjang pengambilan keputusan.

Namun sebanyak 48 persen responden mengatakan kendala utama adopsi big data adalah sumber daya manusia (SDM).

Di Amerika saja saja sebagai pionir, pasokan ahli sains data hanya memenuhi 50-60 persen permintaan. Pada 2018, ilmuwan data di AS diprediksi hanya mencapai 190.000 orang.

"Terakhir, isu keamanan TIK, hal ini seiring dengan banyak ditemukan kasusnya di masyarakat sepanjang 2019. Dibandingkan era internet 2.0/3.0, risiko meningkat berkali lipat karena interaksi masyarakat nya pun meningkat tajam," katanya.

Nur Islami Javad, Chief Digital E-Commerce Fintech (DEF) Sharing Vision (kanan) bersama tim Business Initiative Movement (BIM) berfoto setelah sesi diskusi.
Nur Islami Javad, Chief Digital E-Commerce Fintech (DEF) Sharing Vision (kanan) bersama tim Business Initiative Movement (BIM) berfoto setelah sesi diskusi. (Istimewa)

Menurut Jeff, isu ini sebenarnya bermuara dari kebijakan yang dibuat yakni sejauh mana regulator terkait memperhitungkan resiko ini.

OJK dan BI akan menerapkan open interconnection. Melalui ini, sistem TIK perbankan akan di-mirroring di OJK dan BI.

"Maka kalau ada resiko TIK, misalnya penyerangan terorisme, sistem ini bisa diblok masif. BI tinggal memberi instruksi kepada bank-bank, di-klik interkoneksinya, maka (sistem) akan down,” katanya.(*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved