Lima Perupa Wanita Kisahkan Kekayaan Nusantara di Atas Kain Batik

Lima perupa Kota Bandung menyajikan karya emas yang berkisah tentang kekayaan Nusantara melalui media lukis kain batik di Yayasan Pusat Kebudayaan

Penulis: Kemal Setia Permana | Editor: Dedy Herdiana
Tribun Jabar/Kemal Setia Permana
Pengunjung berpose di area pameran yang bertajuk Relive The Myth di Yayasan Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Kota Bandung. Pameran tersebut digelar sejak Jumat (22/11/2019) hingga Sabtu (30/11/2019). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Kemal Setia Permana

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Lima perupa Kota Bandung menyajikan karya emas yang berkisah tentang kekayaan Nusantara melalui media lukis kain batik di Yayasan Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Kota Bandung.

Karya-karya lukis di atas kain batik ini disajikan dalam sebuah pameran bertajuk Relive The Myth yang dibuka pada Jumat (22/11/2019).

Kelima perupa tersebut adalah Ariesa Pandanwangi, Arleti Mochtar Apin, Ayoeningsih Dyah Woelandhary, Belinda Sukapura Dewi, dan Nuning Yanti Damayanti.

Peringati Hari Batik, Siswa DHIS Primary Mencoba Langsung Membuat Batik Sendiri di Sekolah

Google Doodle Ikut Rayakan Hari Batik Nasional, Tampilkan Motif Batik Ini di Laman Pencariannya

Lima perupa wanita ini menyajikan karyanya yang merupakan hasil dari penelitian di lima kota yaitu Jakarta, Cirebon, Garut, Jogyakarta, dan Pekalongan.

Kelima kota ini dipilih berdasarkan hasil survei lapangan yang telah dilakukannya sejak bulan Maret 2019.

Dalam pameran yang dibuka hingga 30 November, kelima perupa menyajikan 25 karya dengan ukuran rata-rata 110 x 200 cm yang dibuat di atas kain primisima dan kain sutera. Karya tersebut dibentang ke arah landscape.

Sejumlah pengunjung antusias mengamati karya-karya bertajuk Relive The Myth yang dipamerkan di Yayasan Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Kota Bandung. Pameran tersebut digelar sejak Jumat (22/11/2019) hingga Sabtu (30/11/2019).
Sejumlah pengunjung antusias mengamati karya-karya bertajuk Relive The Myth yang dipamerkan di Yayasan Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Kota Bandung. Pameran tersebut digelar sejak Jumat (22/11/2019) hingga Sabtu (30/11/2019). (Tribun Jabar/Kemal Setia Permana)

Secara keseluruhan, tampilan visual pameran ini memperlihatkan cerita legenda ataupun cerita tentang mitos oleh masing-masing perupa. Ariesa mengusung tiga cerita legenda yaitu Roro Jonggrang, Nyi Roro Kidul, dan Situ Bagendit, di mana masing-masing cerita dibuat menjadi dua serial.

Arleti mengusung cerita Timun Mas, Guriang Tujuh, dan serial Dewi Sri.

Perupa lainnya, Ayoeningsih Dyah Woelandhary mengusung cerita tentang Nyai Dasime yang dibuat menjadi lima serial.

Belinda Sukapura Dewi mengusung cerita legenda Sangkuriang yang dibuat menjadi tiga serial, Nyai Roro Kidul, dan Jaka Linglung.

Sementara Nuning Yanti Damayanti mengusung cerita mitos Nyai Roro Kidul yang dibuat menjadi lima serial.

Teresa Liliana Wargasetia, selaku Ketua LPPM Universitas Kristen Maranatha, menyampaikan bahwa penelitian ini sudah berproses sejak Maret 2019.

Tuntutan pemerintah setiap tahun ketat dengan luaran yang dijanjikan.

"Pameran ini merupakan luaran utama yang dijanjikan yaitu berupa produk karya seni," kata Teresa dalam sambutannya.

Pameran ini dibuka oleh Prof Setiawan Sabana, seorang Guru Besar dari ITB dan dikawal oleh dua kurator yaitu Diyanto dan Andang Iskandar.

Menurut Andang Iskandar, pameran seni rupa kali ini berbasis penelitian dengan model epistomologi “penelitian terapan atau karya” yang keluarannya adalah sebuah “obyek”, yang secara implisit terkandung “pengetahuan” tertentu.

Berbagai aspek visual naratif tak hanya hadir dalam konvensi seni lukis sintesa, namun juga dihadirkan dalam multimedia yang mempertemukan penemuan sains dan teknologi, yaitu teknologi pencitraan berupa realitas tertambah/berimbuh atau AR (Augmented Reality) yang menjadi pembeda.

"AR dalam karya-karya kelima perupa difungsikan untuk memproyeksikan objek-objek tersebut secara real time, seolah bergerak, bersifat interaktif," ujar Andang.

Sedangkan menurut Diyanto, batik merupakan salah satu fenomena kultural dalam bidang penciptaan budaya kain.

Visualisasi ragam hias dengan berbagai simbol dan makna yang melekat padanya dapat dijumpai pada selembar kain di beberapa daerah di Indonesia. Salah satunya terdapat di Pulau Jawa.

Ragam hias batik hadir dalam ungkapan visual yang sangat beragam, baik dalam variasi bentuk maupun warna, di samping jumlahnya yang sangat banyak.

Hal tersebut terjadi karena perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain batik seperti letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, laku hidup masyarakat serta lingkungan alam setempat atau yang biasa disebut sebagai local genius.

"Karya kelima perupa ini tidak sekedar mengangkat motif batik, tetapi juga teknik lukis, juga teknologinya. Jadi memang pameran karya seni rupa kali ini sangat berbeda," katanya.

Salah seoranag perupa, Ariesa Pandanwangi, menyebutkan bahwa pameran Relive The Myth merupakan pameran seni rupa yang lahir dari berdasarkan penelitian para perupa dari lintas institusi terkait mitos legenda yang ada di Nusantara.

Ini juga sebagai pertanggungjawaban hasil penelitian mereka di lima kota. Menurut ariesa, penelitian ini didukung dana hibah Kemenristek Dikti untuk skema penelitian unggulan perguruan tinggi yang baru memasuki tahun pertama.

"Pameran ini merupakan realisasi dan pertanggungjawaban hasil penelitian kami di depan publik. Mudah-mudahan hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan pada tahun ketiga oleh sentra-sentra perajin di daerah sehingga para pecinta dan perajin batik bisa mengembangkan cerita-cerita legenda yang menjadi kekayaan nusantara ini," katanya. (Adv/kemal setia permana)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved