Kisah Nenek Berusia 100 Tahun, Hidup di Gubuk Reyot, Sering Minta Kerja Agar Dapat Upah & Beli Makan

Kisah nenek berusia 100 tahun. Tinggal di gubuk reyot sering minta kerja agar dapat upah dan bisa beli makan.

Editor: taufik ismail
Kompas.com/Firman Taufiqurrahman
Mak Iyah di dapur rumahnya di Pacet, Cianjur. 

TRIBUNJABAR.ID, CIANJUR - Di usianya yang seabad, kegetiran harus dirasakan Mak Iyah.

Sudah hampir sejak 30 tahun lalu, sejak suaminya meninggal dunia, Mak Iyah (100) kini hidup sebatang kara.

Ia tinggal di gubuk reyot di tengah areal kebun sayur di Kampung Pasir Bajing, RT 5/3, Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.

Mak Iyah kini sudah tidak bekerja.

Saban hari, ia habiskan dengan berdiam diri di rumah.

Sesekali turun ke perkampungan warga untuk berinteraksi atau sekedar mengobrol dengan tetangga.

Walau masih sanggup berjalan, tapi Mak Iyah harus tertatih-tatih karena tubuhnya semakin ringkih.

Penglihatannya sudah mulai kabur dan mengalami gangguan pendengaran.

Untuk menyambung hidup, perempuan berusia seabad itu kini hanya bisa mengharapkan belas kasihan tetangga dan warga sekitar.

Ada yang menyumbang beras, memberi makanan, dan ada yang sedekah uang.

Uang pemberian itu lantas dibelikan makanan atau bahan masakan.

Mak Iyah, di usianya yang sudah seabad harus tinggal sebatang kara di gubuk reyot tengah kebun.
Mak Iyah, di usianya yang sudah seabad harus tinggal sebatang kara di gubuk reyot tengah kebun. (Kompas.com/Firman Taufiqurrahman)

"Suka nyangu (menanak nasi) sama goreng (ikan) asin. Kalau lalapan nyari di kebun," kata Mak Iyah, saat ditemui Kompas.com, di gubuk reyotnya, Sabtu (2/11/2019).

Kendati hidup dari kedermawanan orang, tapi Mak Iyah mengaku tidak berani meminta-minta.

Bahkan, ketika ada warga yang ingin mengajaknya tinggal, ia lebih memilih tetap di gubuknya.

"Isin nyungkeun mah (malu kalau minta) emak mah se-dikasihnya saja," ucap dia.

Tetangga terdekat, Erah (65) mengatakan, sejak hidup menjanda dan tidak lagi bisa bekerja, kebutuhan hidup sehari-hari Mak Iyah dibantu warga.

"Ada yang ngasih Rp10.000, Rp 20.000, ada yang nasi, makanan. Pokoknya semampunya masing-masing warga saja," ucap dia.

Namun, Mak Iyah terkesan malu jika terus-terus bergantung pada pemberian tetangga, sehingga kadang memaksakan diri ingin bekerja agar bisa mendapatkan upah.

"Kadang suka minta kerjaan supaya dapat upah. Tapi warga tidak tega, soalnya kan sudah tua. Jadi, mending langsung dikasih saja," ujar dia.

Kini, tak ada asa berlebih di usia senjanya, tinggal di gubuk reyot yang nyaris ambruk, Mak Iyah hanya berharap selalu diberikan keselamatan, kesehatan, dan tetap bisa makan.

“Emak mah enggak mau sakit, tidak punya uang buat beli obatnya. Kalau makan alhamdulilah suka ada yang ngasih,” ucap dia.

Rukiyah atau biasa dipanggil Mak Iyah tinggal sebatang kara di rumah tak layak huni dengan kondisi hampir ambruk di areal kebun sayuran.

Warga setempat, Aripin (50) berharap, pemerintah kabupaten maupun pemerintah desa mau mengulurkan bantuan atas kondisi kehidupan Mak Iyah.

Sepengetahuannya, belum ada bantuan dari program pemerintah, seperti PKH dan rastra.

Ia berharap pemerintah mau peduli kepada warga seperti Mak Iyah yang sangat membutuhkan perbaikan rumah agar bisa hidup dengan rasa aman dan nyaman.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Begini Cara Mak Iyah Menyambung Hidup".

Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved