Pengusaha Tekstil Paling Dirugikan dengan Beredarnya Pakaian Bekas Impor, API Menyebutnya Sampah
Asosiai Pertekstilan Indonesia (API) yang mewakili pengusaha tekstil, jadi pihak yang paling dirugikan dengan peredaran pakaian bekas impor.
Penulis: Mega Nugraha | Editor: Dedy Herdiana
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Asosiai Pertekstilan Indonesia (API) yang mewakili pengusaha tekstil, jadi pihak yang paling dirugikan dengan peredaran pakaian bekas impor.
Wakil Sekjen API, Rizal Tanzil bahkan menyebut pakaian bekas impor itu sebagai sampah.
Ia hadir saat Kemendag menyita 550 karung pakaian bekas impor.
• Ironi Pakaian Bekas, Dilarang Impor tapi Laris Manis di Kota Bandung, Diburu di Pasar Cimol Gedebage
• Ratusan Karung Pakaian Impor Bekas di Gedebage Bandung Disita, Pak Haji Marah Bayar Sewa Tapi Disita
• VIDEO Ratusan Karung Pakaian Impor Bekas di Gedebage Disita, Pak Haji Marah Bayar Sewa Tapi Disita
Satu karung dibuka, terlihat pakaian sudah kusut.
Direktur Dijten Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag menyebut, 550 karung pakaian bekas impor itu senilai Rp 5 miliar.
"Pakaian sudah tidak layak pakai dan ini sampah kalau saya bilang. Harga diri bangsa dipertaruhkan, kita ini bukan tempat sampah, kita punya industri tekstil yang besar, maju dan ekspor garmen kita cukup baik," ujar Rizal.
Kementerian Perdagangan lewat Permendag nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.
"Yang pasti ini merugikan kita karena menggerus pasar domestik. Tadi pak Dirjen bilang nilainya Rp 5 miliar di satu titik, bayangkan dengan nilai itu, jelas industri tekstil dan garmen kita tergerus," ujar Rizal.
Dalam satu karung pakaian bekas impor, rata-rata terdapat 200 hingga 500 potong pakaian. Jika mencapai 550 karung, kata dia, bisa dibayangkan pakaian bekas yang membanjiri pasaran.
"Produksen tekstil dan garmen kita itu lebih dari cukup untuk mengcover kebutuhan sandang masyarakat," ujar dia.
Pernyataan Rizal dan kebijakan larangan impor itu justru bertolak belakang dengan fakta yang ada. Catatan Tribun, pakaian bekas impor itu sudah dijual di Bandung paling tidak sejak era 1990-an. Pertama dijual di Jalan Cibadak, pindah ke Terminal Kebon Kelapa, pindah lagi ke Tegallega dan kemudian pindah ke Gedebage.
Selama tiga dekade itu, masyarakat Bandung faktanya kerap membeli pakaian bekas impor karena harga murah, bermerk hingga tidak semua pakaian bekas itu berkualitas buruk.
Untuk menolak fakta itu, pemerintah kemudian menjadikan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasalnya, pakaian bekas impor yang dibeli masyarakat, menurut Kemendag, mengandung banyak bakteri yang merugikan manusia.
"Pakaian bekas ini berbahaya bagi masyarakat karena barangnya mengandung bakteri yang merugikan pembeli dalam hal ini konsumen. Ini sangat tidak patut untuk dibeli," ujar dia.