Curhat Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jabar, Jangan Semua Jenis Penjahat Semua Masuk Penjara
Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jabar ingin tak semua jenis penjahat dihukum masuk penjara. Ini alasannya.
Penulis: Mega Nugraha | Editor: taufik ismail
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jabar Liberti Sitinjak berharap penjara di lembaga pemasyarakatan bukan pilihan terakhir untuk menghukum seseorang yang terlibat pidana.
Pengalaman membuktikan, penjara di lapas sebagai pilihan terakhir menghukum orang justru menambah masalah.
Satu di antaranya, penjara jadi melebihi kapasitas standar. Dampaknya, kerap kali terjadi kerusuhan.
"Saya ingin menyentuh alat penegak hukum, mari kita sama-sama melihat ini, bukan solusi memasukan orang ke lapas itu, justru muncul masalah lain," ujar Liberti Sitinjak di Sport Arcamanik, Senin (8/7/2019).
Pada kesempatan itu, ribuan petugas lapas hadir. Mereka mendapat pembekalan dari Wakapolda Jabar Brigjen Ahmad Wiagus, Kepala BNN Brigjen Sufyan Syarif, hingga Pangdam III Siliwangi, Mayjen Tri Soewandono.
Ia mengatakan, saat ini lapas dan rutan se-Jabar dihuni 23.861 narapidana. Padahal, kapasitasnya hanya cukup untuk 15,658 orang.
Data dari Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM, Abdul Aris menyebut, penghuni terbanyak pertama yakni narapidana kasus umum sebanyak 11,775 orang.
Kedua dihuni oleh bandar narkotika sebanyak 7,605 orang. Ketiga pengguna narkotika sebanyak 3,528 orang. Sisanya narapidana kasus korupsi penghuni terbanyak ke empat sebanyak 600 orang. Sisanya dihuni narapidana kasus terorisme, ilegal logging, trafficking hingga pencucian uang.
"Kalau menurut saya, orang melakukan tindak pidana ringan, pengguna narkotika, enggak usah lah masuk lapas," ujar Liberti Sitinjak.
Dalam sistem peradilan anak, berlaku restorative justice atau penyelesaian pidana di luar pengadilan. Selama ini, itu berlaku di kasus pidana melibatkan anak. Ia menilai, restorative justice sudah perlu dilakukan untuk tindak pidana melibatkan orang dewasa.
"Saya lebih condong ingin ke restorative justice. Ada penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Pelanggar hukum orang dewasa harusnya kita sudah bergerak ke restorative justice untuk perkara tertentu," ujar dia.
Ia setuju jika seseorang terjerat pidana karena jadi bandar narkotika atau kejahatan berat lainnya berakhir di penjara di lapas sebagai hukuman.
Menurutnya, jika persoalan penjara melebihi kapasitas ditangani dengan menambah penjara, itu sama saja dengan menghabiskan uang negara. Ia mencontohkan, biaya untuk membuat satu kamar penjara sesuai standar yakni Rp 177 juta.
"Sekarang kita hitung, kapasitas lapas di Jabar 15 ribu, yang ada sekarang malah 23 ribu lebih. Selisihnya ada 8 ribu napi, jika dibangunkan penjara baru, habis uang negara," ujar Sitinjak.
Di lain pihak, sejumlah pengungkapan perkara narkotika justru dikendalikan oleh napi di dalam lapas. Dengan kondisi penjara yang melebihi kapasitas, fungsi penjara jadi tidak efektif.
"Jika kondisinya seperti itu, fungsi pembinaan jadi tidak efektif. Mungkin kita sering lihat tiap 17 Agustus ada narapidana 1 - 20 orang bebas, tapi sorenya masuk lagi ratusan," kata Liberti.
Kepala BNNP Sufyan Syarif memahami keluh kesah Liberti. Sejak enam bulan lalu, ia sudah meneken MoU dengan Kanwil Kemenkum HAM.
"Muara kasus narkotika memang di lapas. Makanya kami kerja sama dengan melakukan pemberantasan, pencegahan bersama dan bidang penyembuhan," ujar Sufyan.
Wakapolda Jabar Brigjen Sufyan Syarif juga turut memahami kegelisahan Sitinjak.
"Prinsipnya ini momen baik, kami akan terus kolaborasi mendukung Kanwil Kemenkum HAM," ujar dia.