Mengenal Sintren, Tarian yang Dianggap Mistis dan Mulai Terlupakan
Rasa penasaran dan menegangkan begitu terasa di benak warga saat hadir di Car Free Day Dago, Kota Bandung
Penulis: Putri Puspita Nilawati | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG – Rasa penasaran dan menegangkan begitu terasa di benak warga saat hadir di Car Free Day Dago, Kota Bandung, Minggu (21/4/2019). Hal ini karena adanya pertunjukkan seni tradisional Sintren.
Pengunjung yang awalnya duduk menjauh, semakin lama justru semakin memajukan tempat duduknya untuk lebih dekat melihat bagaimana uniknya kesenian Sintren.
Bagi penduduk perkotaan, seni tradisional Sintren tentu sudah jarang dikenal dan bahkan tidak diketahui bagaimana prosesnya.
Sintren merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa tengah dan Jawa Barat yang kini tersebar di berbagai daerah seperti Cirebon, Majalengka, Indramayu, Brebes, Pemalang, Pekalongan, dan Banyumas.
Berkembangnya teknologi modern membuat seni Sintren justru semakin menurun peminatnya, karena kesenian ini seringkali dikaitkan dengan unsur mistis.
"Tidak ada unsur mistis sama sekali justru sintren memiliki makna dan filosofi tersendiri yaitu mengajarkan hidup jangan semena-mena karena setiap manusia pasti akan mati," ujar Darto JE selaku pendiri Padepokan Sekar Laras saat ditemui di Taman Cikapayang, Kota Bandung, Minggu (21/4/2019).
• Mirnawati, Bocah Penderita Hidrosefalus Asal Cipatat Itu Sudah Dioperasi, Kini Kondisinya Membaik
Darto mengatakan ditinggalkannya kesenian ini karena banyak pelaku sintren yang membenarkan adanya bantuan setan dan banyak syarat yang diberikan ketika ada yang mengundang sehingga memberatkan.
Di penampilan seni Sintren kali ini, terlihat selembar kain putih dan tikar bambu sebagai simbol kematian.
Lalu di sebelahnya terdapat kurungan yang melambangkan raga manusia.
Kemenyan pun dibakar sebagai properti membuat pertunjukkan terlihat semakin sakral dan menegangkan.
Sebelum memulai acara, Darto menarik seorang pengunjung yang duduk diantarara kerumunan.
Wanita itupun mengikuti Darto, tanpa banyak perlawanan Ia pun mengikuti apa yang diperintahkan Darto yang badannya diikat tali tambang dan dibungkus dengan kain putih dan tikar bambu.
Setelah dinyanyikan lagu berbahasa Sunda oleh sinden, wanita tersebut menghilang dari dalam kain yang dibungkus tikar.
Pengunjung tampak terheran-heran, apalagi ketika wanita tersebut kini ada di dalam kurungan menggunakan pakaian khas penari.