Quote Hari Ini
VIDEO-Quote: Seseorang Tidak Disebut Mencintai kalau Masih Meminta Sesuatu dari yang Dicintai
IBNU Atha’illah as-Sakandari, salah seorang ulama sufi ternama di dunia dan menjadi rujukan para ulama...
Penulis: Dicky Fadiar Djuhud | Editor: Dicky Fadiar Djuhud
ULAMA. Ibnu Atha’illah as-Sakandari, salah seorang ulama sufi ternama di dunia dan menjadi rujukan para ulama.
Nama lengkapnya adalah Taj al-Din Abu'l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn 'Abd al-Karim ibn Atha 'illah al-Iskandari al-Syadzili adalah tokoh Tarekat Syadziliyah.
Dilansir dari laman wikipedia, ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M.
Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Karya-karyanya banyak menjadi rujukan para ulama di dunia maupun di Indonesia.
Salah satu karyanya yang terkenal:
Seseorang tidak disebut mencintai kalau masih meminta sesuatu dari yang dicintai, namun orang-orang yang betul-betul mencintai ialah orang yang mau berkorban untukmu. Maka sesungguhnya orang yang mencintai ialah orang yang memberimu, bukan orang-orang yang minta diberi
pemberianmu.
– Ibnu Athaillah
Sejak kecil, Ibnu ‘Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap.
Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili.
Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Tergolong ulama yang produktif.
• Tasawuf Modern Digelar di Imperium Hotel
• Kata-kata Mutiara untuk Ibu - Sampaikan Rasa Cintamu Lewat Raingkaian Kalimat Menyentuh ini
Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya.
Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh.
Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam.
Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah.
Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Karya dan Pemikiran Syekh Ibnu 'Atha'illah
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad.
Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
• Halaqoh Cinta Haul Ponpes Buntet Datangkan Tokoh Nasional, Milenial Pun Antusias Sambut Gus Sabrang
• Aa Gym: Pemimpin yang Baik Benar-benar Mencintai yang Dipimpin, Meski Ada yang Tidak Menyukainya
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun.
Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktik sufisme.
Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah.
Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih.
Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan.
Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abul Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abul Abbas Al-Mursi.
Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah Tarekat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktivitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja.
Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini.
Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf.
Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekadar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi.
Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis.
Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya.
Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka.
Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam.
Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan.
Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas.
"Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya.
Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia.
Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah.
Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa, sahalat sunnah dan amal shalih lainnya. (*)