Profil KH Bisri Syansuri, Pendiri NU yang Makamnya Dilangkahi Sandiaga Uno, Kiprahnya Luar Biasa
Berikut ini biografi KH Bisri Syansuri, salah satu pendiri NU yang makamnya dilangkahi Sandiaga Uno.
Penulis: Indan Kurnia Efendi | Editor: Fauzie Pradita Abbas
TRIBUNJABAR.ID - Sebuah video yang menunjukkan cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno melangkahi makam KH Bisri Syansuri di Jombang beberapa waktu lalu, mendadak mencuri atensi publik.
Kritikan dan sanggahan dari berbagai tokoh pun ramai mengisi pemberitaan media Tanah Air.
Terkait kejadian tersebut, Sandiaga Uno meminta maaf dan mengakui telah melakukan kesalahan.
"Pertama-tama, ya tentunya permohonannya maaf. Manusia itu pasti ada khilaf. Saya hampir tiap hari ziarah ke kubur dan selalu ada pemandunya. Tadi saya ziarah kubur juga ada pemandunya," kata Sandiaga Uno, Senin (12/11), seperti dikutip TribunJabar.id dari Kompas.com.
"Dan tanpa mau menyalahkan siapa-siapa, saya harus berani mengambil risiko bahwa ini kesalahan dari saya," lanjutnya.
Seperti diketahui, KH Bisri Syansuri adalah ulama besar dan termasuk salah satu pendiri Nahdatul Ulama (NU).
• Sandiaga Uno Langkahi Makam Pendiri NU, Ini Reaksi Mantan Rais Aam PBNU
• Menilik Kemungkinan Peserta SKD CPNS yang Tak Lolos Passing Grade Bisa Lanjut ke Tahap SKB
Selama hidupnya, KH Bisri Syansuri tidak hanya berkecimpung di dunia pendidikan, ia juga ikut melawan penjajah dan aktif di ranah politik.
Selengkapnya, berikut biografi singkat KH Bisri Syansuri yang dirangkum TribunJabar.id dari laman resmi NU dan sumber lain.
Masa Muda
KH Bisri Syansuri lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 18 September 1886.
Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Syansuri dan Mariah.
Semasa muda, KH Bisri Syansuri menimba ilmu dari beberapa tokoh, di antaranya KH Kholil (Bangkalan), KH R. Asnawi (Kudus), KH M Oemar (Rembang), Kiai Sholeh Darat (Semarang), KH Mahfudz (Termas), dan KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng).
Saat sedang mencari ilmu, KH Bisri Syansuri juga berkenalan dengan rekan sesama santri, Abdul Wahab Chasbullah yang kelak menjadi tokoh NU.
KH Bisri Syansuri kemudian melangkah lebih jauh dalam mendapatkan ilmu, ia pun pergi ke Mekkah.
Di Tanah Suci Mekkah, KH Bisri Syansuri belajar kepada Syeh Muhammad Baqir, Syeh M Sa’id Yamani, Syeh Ibrahim Madani, serta Syeh Jamal Al-Maliki.
• Kirim Chat WhatsApp Otomatis, Tinggal Jadwalkan Saja Sesuai Waktu yang Diinginkan
• Ganti Buku Nikah Jadi Kartu Nikah, Kemenag Kabupaten Cirebon Tunggu Aturan Pasti
Menikah
Ketika berada di Mekkah, KH Bisri Syansuri dijodohkan dengan adik perempuan Abdul Wahab, Nur Khodijah.
Niat Abdul Wahab disambut baik. Akhirnya Bisri mempersunting Nur Khodijah. Setelah menikah, KH Bisri Syansuri pun pulang ke Indonesia.
Sebenarnya, saat itu dia ingin pulang ke kampung halamannya di Tayu namun karena adanya permintaan dari keluarga Nur Khodijah, ia bersedia tinggal di Tambakberas, Jombang.
Dua tahun lamanya KH Bisri Syansuri tinggal di Tambakberas. Waktu yang cukup singkat itu dipergunakannya untuk membantu mertua di bidang pendidikan dan pertanian.
KH Bisri Syansuri juga belajar mendidik dan mengelola pesantren sebagai basis perjuangan.
Setelah dipandang cukup mapan oleh mertuanya, ia diberi sebidang tanah di desa Denanyar yang tak jauh dari Tambakberas untuk dikelola.
Di tanah itulah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang.
Dari pernikahan KH Bisri Syansuri dengan Nur Khodijah, keduanya dikaruniai sembilan orang anak.
Anak pertama mereka meninggal saat masih kecil. Adapun delapan lainnya, yaitu Ahmad Atoillah atau akrab disapa KH Ahmad Bisri, Muassomah, Muslihatun, Sholihah, Musyarofah, Sholihun, Ali Abd Aziz, dan Shohib.
Diketahui, Sholihah menikah dengan Kiai Wahid Hasyim yang kemudian dikaruniai putra bernama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
• Guru dan Siswa SMK NU 03 Kaliwungu yang Candaannya Dinilai Berlebihan Akhirnya Minta Maaf
Membangun Pesantren

Pada tahun 1917, KH Bisri Syansuri bersama istrinya mendirikan pesantren Mambaul Ma'rif di atas tanah milik pribadi di Denanyar, Jombang.
Kala itu KH Bisri Syansuri hanya menyediakan tempat untuk santri putra yang dianggap sangat vital untuk digembleng secara fisik.
Diketahui, pada masa itu, masyarakat setempat dianggap telah bobrok akhlaknya, kekejaman di mana-mana, moral para wanita menjadi rusak, wanita menjadi binal,dan tak mau menerima bimbingan ulama.
Pondok pesantren lantas berusaha membentengi santrinya dari pengaruh budaya yang dapat merusak akhlak.
Pembinaan akhlak santri ditanamkan bahkan sampai cara berpakaian pun para santri harus berbeda dengan penjajah dan pengikut-pengikutnya.

Seiring berjalannya waktu, pembinaan akhlak di pesantren semakin dapat dirasakan oleh masyarakat dan PP Mambaul Ma’arif semakin di kenal oleh masyarakat luas.
Pada 1923, KH Bisri Syansuri mendirikan madrasah salafiyah yang pelajarannya dikhususkan pada pelajaran agama.
Pendidikannya berlangsung selama enam tahun dengan nama Madrasah Mabai’ul Huda.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1930, madrasah putri akhirnya didirikan dengan menyediakan empat kelas, meski pada awalnya sempat mendapat kritikan dari masyarakat.
Sejak tahun 1930, Pesantren Mambaul Ma’arif beserta madrasahnya semakin maju dan tenar.
• Kenali Jenderal Gondrong Bertampang Beringas, Kamuflase yang Tundukkan Gembong Narkoba
Sepak Terjang di Luar Dunia Pendidikan

Selain aktif di bidang pendidikan, KH Bisri Syansuri juga masuk ke ranah politik dan ikut melawan penjajah.
Pada masa penjajahan Jepang, KH Bisri Syansuri terlibat dalam pertahanan negara. Dia menjabat sebagai Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya.
Sementara itu, pada masa kemerdekaan, KH Bisri Syansuri pernah bergabung dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971
Ketika NU bergabung degan Partai Persatuan Pembangunan, KH Bisri Syansuri pernah menduduki jabatan ketua Majelis Syuro. Ia juga terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980.
Rais 'Aam Nahdlatul Ulama

Bila anggota organisasi lain biasanya saling berebut untuk menempati posisi pemimpin, beda halnya dengan KH Bistri.
KH Bisri pernah menolak mendapat gelar orang nomor wahid di kepengurusan NU, yaitu sebagai Rais 'Aam.
Pada Muktamar NU ke-24 di Bandung tahun 1967, KH Bisri Syansuri yang kala itu dalam pemilihan Rais ‘Aam PBNU berhasil mendapatkan suara terbanyak mengungguli KH Abdul Wahab Chasbullah.
Para muktamirin merasa kasihan dengan kondisi fisik Kiai Wahab yang sudah sangat lemah dan uzur sepuh untuk kembali memimpin NU.
Namun, sebelum forum memutuskan untuk mengangkat Kiai Bisri sebagai Rais ‘Aam menggantikan Kiai Wahab, jabatan tersebut dengan tegas ditolaknya.
Selama Kiai Wahab masih hidup, ia tidak akan menjadi Rais ‘Aam.
KH Bisri Syansuri baru bersedia menggantikan jabatan tersebut ketika Kiai Wahab wafat pada tahun 1971.