Menengok Tradisi Rebo Wekasan di Cirebon, Ada Tradisi Tawurji dan Ngapem, Ini Liputannya
Ternyata mereka akan melaksanakan rangkaian Tradisi Rebo Wekasan atau Rabu terakhir pada bulan Safar.
Penulis: Siti Masithoh | Editor: Ichsan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Siti Masithoh
TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Puluhan orang berkumpul di depan Situs Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Rabu (7/11/2018) pagi.
Sebagian dari mereka memakai baju berwarna putih dan sarung bermotif batik mega mendung khas Cirebon. Sebagian lagi, memakai pakaian serba hitam.
Sementara itu, di dapur, ada puluhan perempuan yang tampak menyiapkan kue tradisional khas Cirebon, yaitu apem.
Apem sendiri, biasa dibuat masyarakat Cirebon setiap bulan Safar.
Ternyata mereka akan melaksanakan rangkaian Tradisi Rebo Wekasan atau Rabu terakhir pada bulan Safar.
Tradisi Rebo Wekasan sudah ada sejak zaman wali sanga dan tidak terlepas dari pengaruh ajaran Islam.
Sekitar pukul 09.00 WIB, puluhan pria berpakaian putih dan hitam itu melaksanakan Salat Hajat Talak Bala sebanyak dua rakaat.
Setelah itu, mereka membaca kidung air atau tisting yang berarti asal mula air dan kidung kerhayuan yang berarti keselamatan, dengan harapan memohon dijauhkan dari bala dan bencana.
• Sanksi Cabut Pentil Bagi Anda yang Suka Parkir Sembarangan di Bandung
Kemudian, puluhan anak-anak beserta ibu-ibu datang ke depan situs dan berkumpul.
Kuncen Situs Pangeran Pasarean, Hasan Ashari, beserta beberapa petugas, tiba-tiba membagikan uang koin.
Kontan warga yang hadir berebut uang tersebut sambil berdesakan.
Sambil membagikan uang tersebut, petugas membaca doa tawurji.
"Doa tawurji ini biasa berkumandang setiap malam Rabu terakhir pada Bulan Safar untuk mengingat kematian Syekh Siti Jenar," kata Hasan Ashari, saat ditemui di Situs Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Rabu (7/11/2018).
Tawurji sendiri berarti sedekah uang koin yang dibagikan secara massal kepada warga terutama anak yatim.
Tawurji berasal dari suku kata tawur yang berarti melempar uang koin, dan aji yang berarti tuan haji atau orang yang mampu.
Tujuannya, untuk bersedekah agar selamat dari bala dan bencana selama bulan Safar.
Menurut sejarah yang berkembang, Tawurji bermula dari upaya perlindungan murid-murid Syekh Lemah Abang yang dianggap sesat disertai nasib mereka yang terlunta-lunta, sehingga oleh Sunan Gunung Djati mereka dilindungi dengan diberikan uang koin tersebut untuk bekal bertahan hidup.
Lima Desa Terisolir, Ini Data Sementara Kerusakan Akibat Banjir dan Longsor di Selatan Tasikmalaya https://t.co/W7J4JSjm4s via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) November 7, 2018
Peristiwa itu tepat pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar dan berbarengan dengan tradisi ritual di Bangsal Paseban Keraton Kanoman Cirebon dengan memanjatkan doa kepada Allah SWT.
Setelah tradisi Tawurji, para warga mandi di Sungai Cipagar. Mereka mandi secara bergantian karena air sungai tinggal sedikit.
"Air di sungai itu sebelumnya sudah disimpan Isim Kala Cakra atau jimat pusaka yang dipercaya bisa mengusir jin," kata Hasan Ashari.
Dulunya, tradisi mandi di sungai itu bermula dari zaman Sunan Kalijaga yang mandi di Sungai Drajat saat Cirebon terkena Pagebug atau wabah penyakit.
"Saat itu warga beramai-ramai mandi di Sungai Drajat dan sembuh. Ternyata di sana ada Isim Kala Cakra. Tradisi mandi ini rutin dilaksanakan enam tahun yang lalu," ujarnya.\

Setelah mandi, mereka kembali berkumpul untuk membaca doa agar selamat dari bencana.
"Inti dari rangkaian acara ini agar meningkatkan silaturahmi, beekah dunia dan akhirat, serta melestarikan budaya," katanya.
Acara tersebut dihadiri berbagai masyarakat dari wilayah III Cirebon yang sengaja hadir untuk menghadirinya.
"Sengaja, tapi dapat Rp 7 ribu. Senang karena mengharap berkah," ujar seorang warga Sumber, Masni (43) kepada Tribun.
Selain dihadiri warga, acara itu juga dihadiri sejumlah pejabat di lingkungan Pemkab Cirebon.
"Saya apresiasi acara ini untuk melestarikan budaya. Ini adalah aset bersama yang perlu dijaga. Selain itu, jika ada tradisi ini, masyarakat perantau banyak yang sengaja pulang kampung untuk mengikutinya," ujar Sekmat Sumber, Carmin.
Setelah rangkaian acara dilaksanakan, para warga akan bersama-sama memakan Kue Apem yang disajikan dengan gula merah.
Persib Bandung Kejar Tiket Lolos ke Piala AFC, Wajib Sapu Bersih Lima Laga Tersisa https://t.co/rkno2hwlqg via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) November 7, 2018
Sejak tanggal 1 hingga 30 Safar, setiap rumah di Cirebon, selalu ada yang membuat apem.
Apem tersebut dibuat dari tepung beras yang dicampur air hangat dan tape singkong. Setelah itu, adonan diaduk hingga rata.
Biasanya, masyarakat membuatnya apem itu pada sore hari dan didiamkan semalaman. Tujuannya, agar tekstur apem menjadi lebih lembut dan mengembang.
Setelah didiamkan, pagi harinya, apem akan dicetak. Setelah selesai, apem bisa digarang maupun dikukus.
Tape singkong sendiri memberikan rasa asam. Namun, tidak terlalu asam. Sehingga rasanya lembut dan sedikit terasa asam.
Apem biasa disajikan dengan air gula merah agar lebih terasa manis dan nikmat.
Sejarawan Cirebon, Opan Safari, mengatakan, di Cirebon, tradisi tersebut dilaksanakan untuk memperingati Tragedi Karbala, yang saat ini Irak.
Menurutnya, jika dalam tulisan Jafar Assegaf, tradisi tersebut untuk memperingati wafatnya seluruh pasukan Husain bin Ali atau cucu dari Nabi Muhammad SAW. Pada perang Karbala antara Husain bin Ali dengan pasukan militer Bani Umayyah.
Pertempuran Karbala terjadi pada 10 Muharram atau 10 Oktober 680.
Perang Karbala sendiri diperingati seluruh umat Islam di Indonesia. Jika di Cirebon, dilaksanakan dengan tradisi Ngapem tersebut.
Mau Sarapan atau Makan Siang Rame-rame Harga Terjangkau, Roti Panggang Ini Bisa Jadi Pilihan https://t.co/q8PVV9FXe7 via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) November 7, 2018
"Kalau di Cirebon tradisi ngapem itu tujuannya untuk sodakoh. Sodakoh itu artinya menolak bala atau musibah. Jadi, bermula dari Sejarah Karbala tersebut," kata Opan Safari.
Ia menambahkan, apem di Cirebon berbentuk kotak dan bulat. Apem berbentuk kotak, melambangkan badan. Apem berbentuk bulat, melambangkan kepala.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, bentuk apem itu melambangkan wafatnya Husain yang dibunuh dengan cara dimutilasi.
Di Cirebon, yang pertama melakukan tradisi Ngapem tersebut di Keraton Kanoman Cirebon.