Gempa Donggala
Lima Jurnalis Heroik Peliput Gempa Palu Diganjar Penghargaan, Berikut Kisahnya Sangat Menegangkan
Kisah heroik lima jurnalis TV saat terjadi tsunami di Pelabuhan Pantoloan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Donggala, Sigi, dan Palu.
Ada bahaya besar di depan mata. Orang-orang panik, berteriak-teriak.
Mereka pun ikut berteriak sekeras-kerasnya memperingatkan semua orang. "Lari..., lari, tsunami, tsunami...!"
"Kami langsung masuk mobil dan putar balik," cerita Abdy.
"Kami lihat banyak orang lari ke sana kemari. Kami buka pintu dan menarik beberapa orang masuk. Sampai tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan tercekam," sambung Abdy.
"Sampai di ketinggian yang kami anggap aman, mobil saya hentikan," kata Ody.
"Kami semua keluar. Saya hitung-hitung, ada duabelas orang yang ikut kami.
Total 17 dalam mobil yang hanya untuk 8 orang termasuk pengemudi. Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu," cerita Abdy.
Panik tak bisa menghubungi keluarga
Setelah memastikan berada di lokasi yang aman, mereka melihat ke arah tempat tadi berhenti di dekat Pelabuhan Pantoloan.
"Sudah rata dengan tanah. Rumah-rumah hancur dan berpindah tempat. Perahu dan kapal melintang di jalan. Di mana-mana terlihat penuh puing," tutur Abdy.
Secara naluriah, mereka kembali merekam peristiwa itu untuk kepentingan berita dan mengabarkan pada dunia apa yang mereka saksikan dan alami sendiri.
Sampai kemudian sadar, apa yang terjadi dengan keluarga mereka sendiri di Palu. Serentak, mereka mencoba menghubungi Palu.
"Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami," tutur Ody.
"Saya mungkin yang paling galau karena tempat tinggal kami rumah tua yang rawan runtuh," kata Abdy.
Sekira 30 menit kemudian, mereka memutuskan kembali ke Palu. "Kami harus menemui keluarga dan mengirim berita," kata Abdy.