Pieter Belum Dapat Bantuan Pasca-gempa Palu, Andalkan Sisa Makanan di Rumah untuk Bertahan Hidup

Sudah satu pekan Pieter bersama enam kepala keluarga lainnya belum mendapat bantuan dari relawan atau pemerintah setempat.

Penulis: Fidya Alifa Puspafirdausi | Editor: Fauzie Pradita Abbas
Tribunnews/Irwan Rismawan

TRIBUNJABAR.ID - Pieter (37) dan keluarganya adalah salah satu korban gempa Palu yang masih tinggal di pengungsian.

Rumah Pieter berada di Perumahan Petobo yang mengalami likuifaksi.

Namun, rumah Pieter tidak ikut digulung tanah dan lumpur.

Melansir dari Tribunnews, Pieter dan anak serta istrinya tinggal di pengungsian yang berjarak dua kilometer dari rumah yang mereka tinggali sebelumnya.

Harapan mereka agar lebih mudah mendapat bantuan. Namun, hal sebaliknya justru terjadi.

Sudah satu pekan Pieter bersama enam kepala keluarga lainnya tidak mendapat bantuan dari relawan atau pemerintah setempat.

Perumahan Petobo
Perumahan Petobo ((Amriyono Prakoso/Tribunnews))

Pieter dan keluarganya bertahan hidup dengan cara mengandalakan makanan sisa dari rumah.

"Saya berharap supaya listrik dan air sudah bisa menyala. Jadi, kita bisa kembali ke rumah," kata Pieter saat mengunjungi rumah yang sebelumnya ditinggali, Sabtu (6/10/2018).

Selain kesulitan mendapat bantuan, Pieter juga hilang kontak dengan saudara-saudaranya.

Pieter meyakini saudaranya masih tertimbun dalam lumpur.

Tak ada satu pun saudaranya yang bisa ia hubungi.

Saat ditemui Tribunnews, Pieter tengah berdiri di bawah pohon dekat dengan Perumahan Petobo.

Beberapa kali ia mengelap keringat dengan bajunya yang sudah empat hari tidak diganti.

"Saudara saya masih banyak yang di situ," ucapnya sambil menujuk ke gundukan tanah yang sudah bercampur dengan material rumah.

Dari gundukan tanah juga tercium bau menyengat.

Bau Tak Sedap Mulai Menyeruak dari Perumahan Petobo, Lumpur Mulai Mengeras

Video Simulasi Likuifaksi, Fenomena yang Menelan Petobo Ketika 7,4 SR Gempa Mengguncang Palu

Sesekali Pieter meludah agar menetralkan bau yang masuk.

Keningnya mulai berkerut, tangan kirinya memegang kepala.

Pieter mengatakan anaknya yang ada di pengungsian tidak ingin kembali ke rumah walaupun kediaman mereka tidak rusak parah.

Alhasil, Pieter mengaku pusing karena harus mencari rumah baru untuk ditinggali.

Anak Pieter mengalami trauma saat menyaksikan gempa hebat mengguncang Palu.

"Anak saya tidak mau lagi pulang ke rumah," kata Pieter.

Pria asal Kupang itu menjelaskan, saat gempa terjadi dan tanah Perumahan Petobo bergeser, ia hanya bisa memluk kedua anaknya.

Kerusakan akibat fenomena likuifaksi gempa Palu
Kerusakan akibat fenomena likuifaksi gempa Palu (tribunnews.com)

Kejadian yang berlangsung sekitar satu setengah menit itu membekas dalam ingatan sang anak.

Bahkan, setelah kejadian itu, anak Pieter terlihat lebih murung.

"Anak-anak tidak seaktif dulu lagi. Mereka sekarang cenderung diam," ungkapnya.

"Saya akan bawa anak-anak ke rumah saudara dulu. Kasihan juga kalau masih lihat seperti ini," ujarnya.

Likuifaksi yang Menyapu Petobo

Gempa yang mengguncang Donggala dan Palu mengakibatkan munculnya fenomena likuifaksi tanah

Dua pemukiman di Palu, Balaroa, dan Petobo, dilaporkan mengalami kejadian itu.

Sebagian tanah di daratan itu bergerak seperti air lumpur sungai, menyeret apa saja yang ada di permukaan dari beberapa meter hingga ada yang berkilometer.

Apa itu likuifaksi?

Kepala Badan Geologi, Rudy Suhendar, menjelaskan likuifaksi adalah gejala peluluhan lapisan pasir lepas yang bercampur dengan air.

Peluluhan, satu di antaranya, dapat diakibatkan oleh guncangan gempa.

"Hilangnya daya dukung lapisan tanah akibat likuifaksi dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan dan atau mengeringnya sumber-sumber air pada sumur gali yang tergantikan oleh material non kohesif (pasir)," ujarnya dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Tribun Jabar, Sabtu (6/10/2018).

Syarat-syarat terjadinya likuifaksi, lanjut dia, adalah lapisan tanah non kohesif berbutir pasir halus atau pasir lanauan yang kondisinya jenuh air atau muka air tanah dangkal (kurang dari 10 m).

Kemudian, syarat lainnya, adanya aktivitas gempa (umumnya magnitud lebih dari 6.0 SR).

Likufaksi, sambung Rudy, terdiri dari dua tipe, yaitu likufaksi tipe siklik (cyclic liquefaction) dan tipe aliran flow liquefaction).

Tipe siklik cenderung terjadi pada tanah yang lebih padat dan efeknya terjadi di dalam tanah yang lebih dalam.

"Tipe aliran biasanya cenderung merusak di dekat permukaan tanah seperti air sumur menjadi kering terisi pasir dan semburan pasir bercampur air/lumpur," katanya.

(Tribun Jabar/Fidya Alifa/Yongky Yulius)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved