Fahmi Syahrul Mati-matian Selamatkan Istri yang Hamil Tua dari Gempa Palu hingga Lolos Naik Pesawat

Saat gempa Donggala dan tsunami Palu, Jumat (21/9/2018), Fahmi Syahrul harus mati-matian menyelamatkan istrinya yang hamil tua.

Penulis: Widia Lestari | Editor: Kisdiantoro
Kolase Tribun Jabar (Facebook/Fahmi Syahrul dan ISTIMEWA)

Hingga pagi hari gempa tak berhenti. Tapi kekuatannya mulai berkurang. Saya pun memiliki niatan untuk meninggalkan kota palu secepatnya. Saya mencari koneksi ke semua jaringan.

Carteran mobil tak ada, sebab semua jalanan untuk keluar masuk kota palu tidak ada. Longsor di mana-mana.
Belum lagi penerbangan umum yang tidak ada karena falitas bandara rusak parah.

Di sepanjang perjalanan mencari akses keluar palu, saya dikagetkan melihat ratusan mayat yang tergelatak di sejumlah titik. Jalanan yang terbelah, bangunan yang rata dengan tanah.

Bahkan Mall Tatura (Ramayana) yang letaknya hanya 50 meter dari rumahku rusak parah. Rarusan mayat jelas terlihat di sana. Bahkan ada beberapa mayat yang bergelantungan di beberapa sudut mall yang masih berdiri miring.

Hal ini semuanya kusembunyikan dari istri mamaku. Saya tak ingin membuat trauna mereka menjadi parah. Sebab getaran kecil saja membuat mereka ketakutan.

Hingga malam hari, kami pun belum bisa meninggalkan Palu. Kami pun masih tinggal di depan jalan. Tak ada satu pun orang yang berani masuk ke dalam rumah.

Parahnya lagi, saat kami beristirahat di tenagh malam, hujan malah turun. Kami tak memiliki tenda. Langit yang menjadi atap kami selama dua malam malah membasahi kami.

Parahnya lagi, selama tiga jam sekira pukul 02.00 Wita gempa berkekuatan sedang kembali terjadi selama empat kali. Disusul gempa ukuran kecil yang tak ada putusnya.

Saya pun khwatir dengan anak istriku, saya mencoba melihat-lihat rumah sakit. Sebab saya khawatir istriku bisa saja melahirkan kapan saja. Alangkah terkejutnya saya saat melihat ribuan pasien yang tergeletak di halaman RS. Bahkan kuburan Cina yang ada dideketnya pun penuh.

Saya kian cemas. Istriku yang bisa melahirkan kapan saja pasti tak akan mendapatkan pelayanan yang maksimal. Bahkan kemungkinan terburuk dirawat di rumah kuburan seperti pasien lainnya bisa terjadi.

Keesokan paginya (pada hari kedua pascagempa) saya kembali berusah mencari koneksi. Mencari kabar, apakah akses keluar kota palu sudah bisa digunakan atau belum. Ternyata longsor masih terjadi di mana.

Saya mencoba peruntungan ke bandara Sis Al Jufri. Di sana saya melihat ada proses evakuasi terjadi dengan Pesawat Heecules milik TNI AU. Cukup sedikit informasi yang saya dapatkan dan kuputuskan untuk menjemput anak, istri dan mama saya.

Mereka saya ajak ke bandara dan mengambil pakaian seadanya dalam rumah. Mereka saya bawa ke bandara. Perjuangan untuk masuk ke area bandara pun sangat sulit. Desak-desakan warga terus terjadi.

Saya berusaha melindungi istriku. Setiap ada orang yang mendorong saya maki. Bahkan ada beberapa orang yang saya pukul, saking cemasnya apabila perut istriku terdorong.

Allah maha kuasa. Berkat perlindungannya, kami bisa melalaui gerbang dengan keadaan sudah sangat lemas. Petugas penjaga dari satuan TNI pun tampak kewalahan menjaga dorongan warga.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved