Menelisik Jejak Mbah Kuwu Sangkan Cirebon dalam Naskah Serat Cakra Buana, Mertua Sunan Gunung Jati
Pangeran Cakra Buana atau akrab disapa Mbah Kuwu Sangkan Cirebon adalah paman sekaligus mertua dari Sunan Gunung Jati.
Penulis: Siti Masithoh | Editor: Yudha Maulana
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Siti Masithoh
TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Pangeran Cakra Buana atau akrab disapa Mbah Kuwu Sangkan Cirebon adalah paman sekaligus mertua dari Sunan Gunung Jati.
Makamnya¸tepat berada di samping makam Sunan Gunung Jati Cirebon.
Cerita mengenai perjuangan Pangeran Cakra Buana saat belajar agama Islam terdapat dalam Naskah Serat Cakra Buana. Ia wafat tahun 1529 Masehi.
Pangeran Cakra Buana meminta dimakamkan di atas Gunung Sembung. Di gunung tersebut ditanami pohon Sembung sehingga dinamakan Gunung Sembung.
Ia sengaja meminta dikuburkan di sana karena tempat tersebut merupakan tempat persinggahannya. Nama bukitnya adalah Astanaq Nur Giri Cipta Rengga.
Yang pertama dimakamkan di dalam makam utama Komplek Sunan Gunung Jati adalah Puteri Ong Tien atau istri Sunan Gunung Jati dan yang kedua adalah Pangeran Cakra Buana.
“Pangeran Cakra Buana lahir di Pakuan Pajajaran dan ibunya merupakan asli keturunan Singapura,” kata Opan Safari sambil terus membuka naskah tersebut.
Di bawah Bukit Astana Nur Giri Cipta Rengga ada sebuah kanal bernama Kanal Condong dan pesantren Gunung Jati tersebut berdiri di atas tempat yang dulunya dijadikan Pasar Internasional di Cirebon.
“Untuk cerita pasar internasional ada dalam Naskah Purwaka Caruban Nagari. Saat ini naskah tersebut sudah dicetak dan bisa dibaca oleh siapa saja,” ujar sejarawan Cirebon, Opan Safari saat ditemui di Makam Sunan Gunung Jati, Selasa (11/9/2018).
Singkat cerita, dalam naskah tersebut diceritakan tentang pelantikan Sunan Gunung Jati menjadi seorang raja oleh Pangeran Cakra Buana hingga perjuangan Pangeran Cakra Buana menuntut Agama Islam.
Begini kisahnya :
Bermula dari berbagai pedagang yang ada di pelabuhan Cirebon, ada seorang pedagang Arab yang membawa puteri cantik bernama Siti Syarifah.
Dari pernikahan Ki Gedeng Tapa dengan Siti Syarifah, lahirlah Nyi Mas Subang Keranjang yang dikenal sebagai perempuan tercantik saat itu.
Nyi Mas Subang Keranjang disekolahkan untuk belajar Al-Quran di Karawang. Saat ia sedang melantunkan ayat suci Al-Quran, ada seorang lelaki keturunan mahkota Galuh yang bernama Pangeran Dewata yang langsung jatuh hati kepadanya hingga keduanya menikah.
Di dalam naskah tersebut disebutkan tahun 1427 M beliau diangkat menjadi Maha Raja yang menyatukan Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pajajaran.
Dari pernikahan tersebut, lahirlah tiga orang anak bernama Pangeran Cakra Buana, Dewi Sarika Bunang atau Nyi Mas Rarasantang, dan Kian Santang yang dikuburkan di Garut.
Ketiganya dididik di Istana Pajajaran yang mayoritas warganya beragama Hindu Budha.
Akan tetapi, karena didikan ibunya kuat, ketiganya tetap memiliki akidah yang teguh dan tetap menjalankan syariat Islam. Suatu waktu, secara diam-diam mereka bertiga mencari kapal untuk pergi ke Karawang dan belajar mengkhatamkan Al-Quran.
“Jadi tidak sembarangan Pangeran Cakra Buana belajar agama Islam. Kalau ketahuan sangat beresiko,”kata Opan Safari.
Saat berada di sana, ia diramal oleh gurunya bahwa adiknya, Nyi Mas rarasantang akan melahirkan seorang putera yang akan meruntuhkan Kerajan Pajajaran. Ramalan itu kontan membuatnya terkejut, ia pun segera memberitahu ibunya.
Ibunya kemudian meminta izin kepada ayahnya agar mereka berempat tinggal di istana Banten. Di sana, mereka belajar Agama Islam lebih intensif. Namun, Nyi Mas Subang Keranjang meninggal saat usia 40 tahun.
Saat ia wafat, ketiga puteranya lari dan keluar dari Kerajaan Pajajaran dan dicari oleh ayahnya, Raja Dewata. Pangeran Cakra Buana beserta kedua adiknya lari menuju Singapura kepada Ki Gedeng Tapa.
Tahun 1444 M, Pangeran Cakra Buana bersama Nyi Mas Rarasantang berangkat haji menggunakan kapal dagang di pelabuhan perdagangan internasional di Cirebon. Selain belajar haji, di sana mereka juga bermukim dan memperdalam Agama Islam.
Di sana, Nyi Mas Rarasantang bertemu dengan lelaki asal Mesir bernama Abdullah Al Zibbi bin Jamaluddin yang nisabnya langsung kepada Rasulullah. Kemudian keduanya menikah dan mempunyai anak bernama Sunan Gunung Jati.
Setelah dari Mekkah, Pangeran Cakra Buana terlebih dahulu mampir ke Campa untuk belajar agama Islam lagi hingga menikah dengan anak gurunya bernama Nyi Ageng Jemaras. Ia juga mampir ke Aceh dan mengadopsi seorang anak yang diberi nama Nyi Mas Ganda Sari.
Sesampainya di Cirebon, Pangeran Cakra Buana disuruh membuka Kedukuhan Cirebon oleh Syekh Nurjati pada tahun 1445 M yang dijadikan sebagai ulang tahun Kota Cirebon yang diperingati setiap 1 Muharram.
Setelah itu, ia diangkat oleh Prabu Siliwangi menjadi Tumenggung atau yang sekarang disebut Bupati. Tahun 1479 M, Pangeran Cakra Buana melantik Sunan Gunung Jati menjadi raja agar melepaskan diri dari Prabu Siliwangi. Sebelum dilantik, Sunan Gunung Jati disuruh membuat pesantren Sunan Gunung Jati.
Sebelumnya, tahun 1404 M, Cirebon memasuki babak baru dengan tidak mengirimkan upeti dan memutuskan hubungan dengan Pajajaran. Berkali-kali Kerajaan Pajajaran mengirimkan pasukan untuk menyerang Cirebon namun selalu gagal. Satu pasukan terdiri dari 40 prajurit dan satu prajurit dapat membunuh 100 orang.
“Saat mencoba perang, mereka diceramahi oleh Pangeran Cakra Buana hingga akhirnya masuk Islam,” kata Opan Safari kepada Tribun Jabar.
Saat itu usia Pangeran Cakra Buana 97 tahun dan masih ikut perang. Semua orang yang melawannya selalu kalah. Bahkan, adipati se-Pajajaran dapat ditaklukkan.