Kisah Adik Pramoedya Ananta Toer, Soesilo Toer yang Bergelar Doktor tapi Kini Jadi Pemulung

Semua catatan penting yang membuktikan ia pernah berhasil di Rusia itu terbungkus plastik di dalam koper dan terkunci rapat di lemari pakaian.

KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO
Soesilo Toer saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Jalan Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/5/2018) sore. 

Sebelum hijrah ke Rusia, Soes sempat menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia‎ (UI). Soes juga mahasiswa BI jurusan ekonomi yang beralih menjadi IKIP di Jakarta Selatan.‎

Dia lolos tanpa tes di bangku kuliah itu karena tertolong dengan predikat nilainya yang memuaskan hasil menempa pendidikan menengah atas di Jakarta. Nilai semua mata pelajaran di atas rata-rata. Nilai ekonominya 10.

Namun, perjalanan di kedua kampus itu terhenti di tengah jalan karena biaya kuliah terlalu ‎tinggi baginya.

Baca: Setiap Hari Berjualan Tisu di Stasiun Cawang, Kisah Sedih Gadis Kecil Ini Terungkap

Soes pun akhirnya menyelesaikan pendidikan diplomanya di‎ ‎Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK). ‎

Saat menjadi mahasiswa, untuk menunjang hidup Soes bekerja di sebuah perusahaan penerbitan.‎ Gaji Soes tidak besar, status pekerjaannya pun tidak tetap.‎

Sejatinya, pekerjaan itu hanya sampingan. Tiang utamanya adalah dana keluarga. Uang keluarga diputarnya di sejumlah pedagang kecil yang membutuhkan modal dadakan.

Dari pinjaman itu, bunga yang didapatkan digunakan untuk menyokong biaya sekolah dan hidup sehari-hari.‎

"Hidup waktu itu demikian susah dan keras. Uang saku dari Mas Pram sangat minim. Sampai kini, kalau teringat terkadang miris sendiri. Kasihan terhadap kemiskinan bangsa sendiri. Mengapa aku harus begitu kejam mencari sesuap nasi. Aku tahu itu tidak halal, tapi kalau sok-sokan berperikemanusiaan, hadiahnya lapar dan bencana bagiku," kata anak ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Mastoer dan Siti Saidah itu.‎

Ke Rusia dan berlimpah harta

Lulus kuliah, Soes diterima bekerja sebagai clerk atau pegawai asuransi di sebuah kantor dagang, bekas milik Belanda yang dinasionalisasi atas tuntutan buruh. Posisinya strategis. Tentunya dengan gaji besar.

Kehidupan perekonomian Soes mulai meningkat‎ signifikan. Makan enak, tak lagi melarat. "Namun, sungguh aku tidak suka. Kerjanya membosankan, setiap hari hanya dipenuhi angka-angka. Kantornya berisik oleh suara mesin hitung, mesin bagi, mesin tulis, mesin bagi, dan mesin kali‎," ujar Soes.

Pada saat Soes berada di atas angin, Indonesia mendadak dilanda kegoncangan ekonomi dan politik.‎ Pemerintah membentuk Batalyon Serbaguna Trikora.

‎Karier suksesnya selama lebih dari setahun itu perlahan berubah karena situasi negara waktu itu.‎ Soes mengikuti pelatihan wajib militer yang menguras fisik saat itu.

Baca: Jelang Arus Mudik, Puluhan Sopir Bus di Terminal Harjamukti Jalani Tes Urine

"Aku tak tahu apa penyebabnya. Pemerintah bertekad membebaskan Irian Barat. Saat itu militer memegang kuasa termasuk di kantorku, hingga akhirnya aku ikut latihan menjadi sukarelawan ke Irian Barat. Jabatanku kabag distribusi dan pangkatku letnan waktu itu tapi kenyataannya aku jenderal bintang tujuh alias pusing dengan nasib ke depannya," tutur Soes terkekeh.

Sumber: Kompas
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved