Letusan Gunung Agung Lebihi Merapi, Surono : Ini yang Paling Saya Takutkan
Banyak geolog dan vulkanolog di Indonesia yang khawatir begitu mengetahui Gunung Agung yang . . .
TRIBUNJABAR.CO.ID - Banyak geolog dan vulkanolog di Indonesia yang khawatir begitu mengetahui Gunung Agung yang telah 54 tahun tertidur ini kembali bangun pada pertengahan September 2017.
Salah satunya adalah ahli gunung api yang juga mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunung Api (PVMBG) Surono.
”Di antara banyak gunung api lain di Indonesia, Gunung Agung merupakan yang paling saya takutkan jika meletus lagi. Ini gunung besar dengan letusan besar, dengan sejarah letusan tahun 1963 yang lebih besar dibandingkan letusan Merapi tahun 2010,” kata Surono.
Tingginya risiko bencana dari letusan Gunung Agung ini, menurut Surono, tidak hanya karena sejarah kekuatan letusannya.
Baca: Duel Persib Bandung Vs Bhayangkara FC, Ini Prakiraan Susunan Pemain Kedua Tim
Namun, juga karena banyaknya penduduk yang tinggal di zona bahaya.
”Banyaknya korban letusan 1963 saat itu salah satunya juga karena sebagian warga menolak diungsikan,” katanya.
Nikahsirri com Diblokir, Pemilik Situsnya Diusir https://t.co/mnzKVat2Oq via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) September 24, 2017
Kama Kusumadinata, vulkanolog Direktorat Geologi Bandung yang datang ke Bali pada saat periode letusan 1963 melaporkan, arahan pemerintah untuk menjauh dari zona bahaya Gunung Agung dalam radius 5 kilometer dari puncak saat itu diabaikan.
Baca: Sempat Bikin Dunia Lebih Dingin Ketika Gunung Agung Meletus
Sepanjang masa tenangnya, Gunung Agung telah memberi banyak hal bagi warga Pulau Dewata.
Mulai dari keberlimpahan sumber air, kesuburan tanah, mengukir lanskap surgawi yang mendatangkan banyak wisatawan, hingga memberi orientasi atau arah kaja-kelod dalam kebudayaan Bali.
Kini saatnya, Gunung Agung meminta jeda, dan seperti disampaikan Surono, warga sebaiknya mengalah dulu dengan menjauhi zona bahaya.
Dinginkan Dunia
Stephen Self dan Michael R Rampino dalam Bulletin Vulcanology (2012) menyebutkan, letusan Gunung Agung pada Februari 1963 hingga Januari 1964 merupakan yang paling menghancurkan.
Kolom letusannya saat itu mencapai ketinggian 20 kilometer dengan total material batuan yang dikeluarkan mencapai 0,4 kilometer kubik (km3).
Material vulkanik berupa aerosol sulfat terbang tinggi dan kemudian melapisi atmosfer Bumi hingga sejauh 14.400 kilometer.
Baca: Duel Persib Vs Bhayangkara FC - Pelatih The Guardian Sesumbar Begini
Dampaknya, suhu Bumi mengalami pendinginan dengan rata-rata 0,4 derajat celsius karena sinar matahari terhalang lapisan aerosol sulfat (Hansen dalam Jurnal Science, 1978).
Rampino (1982) membandingkan tiga letusan gunung di Indonesia, yaitu Tambora (1815), Krakatau (1883), dan Agung (1963).
Disimpulkan, ketiga letusan itu menyebabkan pendinginan suhu Bumi dalam rentang besaran yang hampir sama.
Fenomena menjadi menarik karena jumlah material yang dimuntahkan ketiga gunung tersebut jauh berbeda.
Perbandingan volume material letusan Tambora, Krakatau, dan Agung adalah 150:20:1.
Namun, letusan Gunung Agung lebih kaya gas oksida belerang (SO2) dibandingkan letusan Tambora dan Krakatau.
Letusan Gunung Agung pada 1963 yang disebut sangat kaya belerang, membuka pemahaman baru dalam ilmu pengetahuan modern, yaitu pendinginan suhu Bumi akibat letusan gunung api lebih dipengaruhi konsentrasi aerosol sulfat dibandingkan debu silikat.
”Letusan Gunung Agung 1963 terjadi ketika dunia penerbangan belum seramai sekarang. Kalau letusan yang sama terjadi saat ini, dampaknya akan sangat serius terhadap dunia penerbangan,” sebut Indyo Pratomo, geolog dari Museum Geologi-Badan Geologi.
Baca: Selain 1.000-an Warga Tewas, Letusan Gunung Agung 1963 Juga Munculkan Dampak Lain yang Sangat Parah
Andi Eka Sakya, mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, bagi dunia penerbangan, debu vulkanik sangat berbahaya.
Selain dipengaruhi besaran material erupsi, ini juga sangat dipengaruhi pergerakan angin.
Karena itu, peranan BMKG penting.
”Krisis Gunung Agung ini sungguh menjadi ujian para stakeholder kebencanaan lintas bidang,” katanya. (Kompas Print / Ahmad Arif)