SOROT
Tafsir Ideologi
Dalam kasus Cina, tafsir ideologi oleh rezim berkuasalah yang menjadi panduan praktis bangsa.
Penulis: Adityas Annas Azhari | Editor: Kisdiantoro
Oleh ADITYAS A A
Wartawan Tribun
REPUBLIK Rakyat Cina (RRC) yang ekonominya menggurita di bumi ini memiliki ideologi yang berpijak dari Marxisme Leninisme. Bapak RRC, Mao Tse Tung menerjemahkan Marxisme sesuai kondisi dan nilai-nilai Cina, sehingga terwujud Maoisme, alias komunisme ala Cina.
Tapi "kekentalan" ideologi Maoisme itu dulu, pada era pascaperang dunia II. Saat itu memang dunia terbagi dalam blok komunis-sosialis versus kapitalis-liberal. Kenyataannya saat Deng Xiaoping berkuasa, ideologi Mao diinterpretasikan lagi. Pada Januari 1982 yi guo liang zhi alias satu negara dua sistem diperkenalkan. Awalnya sistem ini untuk mewujudkan reunifikasi Cina. Ini artinya pemerintahan Cina yang berpusat di Beijing menganut Maoisme (komunisme), namun di Hong Kong, Makau, dan Taiwan (yang dianggap bagian dari RRC) diperbolehkan sistem demokrasi kapitalisme.
Kenyataannya, satu negara dua sistem, tidak hanya berlaku di Hong Kong, Makau, dan Taiwan, tapi seluruh RRC. Apa hasil penerapan yi guo liang zhi? Ternyata Cina menjadi kekuatan ekonomi nan dahsyat. Xiaoping pun berprinsip, "Tak penting apa warna kucingnya, yang penting bisa menangkap tikus"! Kapitalisme Cina pun kini tumbuh di segenap penjuru bumi.
Sinolog (ahli Cina) dari Universitas Indonesia, Ignatius Wibowo, menanggapi fenomena Cina ini mengatakan, "Yang menarik di Cina adalah secara resmi mereka menganut ideologi komunisme yang mencita-citakan masyarakat tanpa kelas, sementara sekarang masyarakatnya menjalankan ekonomi kapitalis yang menghalalkan eksploitasi. Bagaimana mungkin ideologi komunisme itu dapat digeser dan disesuaikan sedemikian rupa sehingga masih bisa memberi semangat atau daya dorong bagi masyarakat"?
Dalam kasus Cina, tafsir ideologi oleh rezim berkuasalah yang menjadi panduan praktis bangsa. Nah pada 1 Juni, bangsa ini memperingati lahirnya ideologi negara, yaitu Pancasila. Soekarno yang hidup di zaman yang sama dengan Mao, menggali akar budaya, nilai-nilai, dan fakta-fakta kemajemukan Nusantara saat itu. Pada sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945, yang membahas rumusan dasar negara, Bung Karno berpidato tentang lima dasar negara yang kemudian disebut Pancasila.
Dalam pidatonya, ia memaparkan kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Pemaparan tersebut adalah hasil perenungan, pemikiran, penghayatan, dan perumusan cita-cita Soekarno berdasarkan fakta-fakta objektif bangsa Indonesia saat itu.
Orde baru kemudian mengoreksi tafsir ideologi Pancasila Soekarno. Berdasarkan Tap No XX/MPRS/1966, Pancasila dijadikan sumber dari segala sumber hukum. Orba lalu mengeluarkan tafsir sendiri atas Pancasila yang diajarkan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi dalam bentuk penataran P4. Salah satu bentuk operasional tafsir adalah 36 butir Pancasila yang harus dihafal pelajar. Sayangnya kelakuan rezim Orba tidak mencerminkan Pancasila.
Di era reformasi ideologi Pancasila malah memudar. Seiring serbuan informasi digital yang kian menggurita, batas-batas negara makin menipis, dan pergerakan modal terus meluas, Pancasila menjadi "sekadar" ideologi. Golongan tua mungkin masih ingin mengkaji nilai-nilai Pancasila dan berharap jadi solusi bangsa. Namun bagi yang muda, Pancasila "cukup" dipelajari di sekolah. Ideologi menjadi "abu-abu" jika tidak berdampak pada pendapatan (materi), kenyamanan (hidup), dan kebebasan berkreativitas. Perlu kerja keras lagi dari para cerdik pandai menafsirkan ideologi Pancasila agar dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh segenap anak bangsa, sekaligus berdampak nyata pada kemajuan negeri ini. (*)