Sorot
Menuju Perubahan yang Lebih Baik
MULAI tahun ini, UN memang tak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa.
Penulis: Arief Permadi | Editor: Dicky Fadiar Djuhud
ADA yang berbeda dalam ujian nasional (UN) untuk tingkat SMA, SMK dan Aliyah, yang digelar serentak di semua sekolah dan madrasah di Tanah Air sejak kemarin. "Aroma" ketegangan terasa tak sepekat tahun-tahun sebelumnya. Mulai tahun ini, UN memang tak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa.
Sejak perubahan tersebut diputuskan pemerintah, sambutan gembira muncul dari hampir semua kalangan.
Para pendidik menganggap keputusan itu tepat. Sebab, bagaimana mungkin, nasib para siswa hanya ditentukan oleh angka-angka yang diperoleh dari hasil UN.
Sementara di sisi lain, tak semua siswa dan sekolah menerima fasilitas dan akses pendidikan yang sama baiknya, terutama di sekolah-sekolah yang jauh di pelosok. Ini dianggap bukan saja sebagai bentuk ketidakadilan, tapi kezaliman. Syukurlah, tahun ini, itu sudah berubah.
Tak hanya itu, pelaksanaan UN tahun 2015 juga berubah dari sisi pelaksanaan. Tahun ini, pemerintah juga menggelar UN berbasis komputer (computer based test/PBT).
Namun, perubahan yang kedua ini masih dalam tahap ujicoba, dan karena itu hanya di sekolah- sekolah tertentu. Sebagian besar sekolah masih melakukan UN berbasis kertas (paper based test/PBT).
Di seluruh Indonesia, baru 585 sekolah yang mulai menggelar UN CBT. Berbeda dengan UN PBT yang digelar 13 April hingga 15 April, UN CBT digelar 13-16 April, serta 20-21 April.
Di Jawa Barat, dari total 4.547 sekolah tingkat SMA, SMK, dan Aliyah, hanya 57 sekolah yang sudah siap mengikuti UN CBT. Adapun sisanya masih mengikuti UN PBT.
Dibanding UN PBT, UN CBT punya banyak kelebihan. Dari sisi biaya, ini lebih murah. Cara ini juga jauh lebih praktis, lebih hemat SDM, dan tentu saja lebih hemat waktu.
Dengan sistem CBT ini, kebocoran soal juga bisa diminimalisir. Karena sistemnya online, jelas waktu distribusi soal yang biasanya cukup memakan waktu dan berisiko bisa diminimalisir.
Dari sisi biaya ini jelas jauh lebih ringan, karena tak perlu lagi ada pencetakan kertas soal maupun kertas jawaban.
Dari sisi pengerjaan, cara ini juga jauh lebih praktis. Tak perlu susah-susah menandai jawaban yang dipilih pada lembar jawaban menggunakan alat tulis.
Namun, kembali lagi ke soal pemerataan fasilitas, cara yang praktis ini tetap menjadi sulit karena
tak semua sekolah memiliki fasilitas komputer yang cukup untuk menggelar CBT.
Belum lagi masalah listrik, atau juga jaringan internet yang masih belum stabil, atau bahkan tak ada.
Namun, belajar dari pengalaman, pemerintah sekarang tak tergesa-gesa mengubah kebijakan secara drastis. Uji coba memang harus dilakukan sesegera mungkin. Namun, karena banyaknya persoalan tadi, tentu saja kebijakannya harus dilakukan terbatas.