Sorot
Untung, Tak Semua Angkot Mogok
DARIPADA bersusah-susah dan mendapat kerugian dari aksi tersebut, tentu lebih menyenangkan apabila didapat win-win solution.
Penulis: Machmud Mubarok | Editor: Dicky Fadiar Djuhud
APA yang terjadi jika angkutan kota, angkutan umum, mogok operasi? Tentu para calon penumpang, kebanyakan pelajar dan pegawai, akan telantar. Apa hanya itu? Tentu tidak. Para sopir, para juragan angkot, pun tak akan mendapat setoran pada hari itu.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi memang menyesakkan dada. Siapa pun tentu tidak menginginkan adanya kenaikan harga, tak terkecuali Presiden Joko Widodo. Pasti itu. Tapi kondisi fiskal dan jebolnya APBN kita, memaksa negara untuk menghemat.
Lebih baik mengalihkan anggaran subsidi untuk keperluan masyarakat, daripada hangus untuk membakar BBM.
Penolakan terhadap kenaikan harga BBM bisa beragam. Karenanya, selama itu bukan makar, sah-sah saja seruan mogok nasional yang disampaikan Organda.
Seruan itu pun disambut dengan aksi mogok di wilayah Tasikmalaya dan Garut. Para pelajar terpaksa naik bus polisi atau pun truk Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk berangkat sekolah.
Itu karena tidak ada satu pun angkutan yang beroperasi melayani trayek seperti biasa. Beruntunglah warga Bandung bahwa para pengurus Organda Bandung masih mau berkompromi dengan pemerintah kota.
Setelah ada pertemuan dengan Dinas Perhubungan, muncullah kata sepakat untuk menaikkan tarif angkutan sebesar Rp 1.000. Organda Bandung pun memutuskan tak menggelar mogok operasi.
Di Kota Cimahi pun, seruan mogok operasi itu tak berefek apa-apa. Sopir angkutan kota jurusan Cimahi-Leuwipanjang dan Cimahi-St Hall tetap beroperasi dan menaikkan penumpang.
Itu karena kecepatan dan respons yang cepat dari pemerintah kota masing-masing. Begitu harga BBM diumumkan naik, esok harinya, sudah ada pertemuan dinas perhubungan dengan Organda dan asosiasi pengusaha angkutan lainnya. Dalam waktu satu hari, sudah diperoleh kesepakatan bahwa tarif angkutan kota langsung naik.
Sosialisasi kenaikan tarif langsung dilakukan. Di setiap kaca angkot, ditempelkan tarif baru. Tak cukup dengan itu, pengurus Organda pun aktif berkeliling di terminal untuk menyampaikan tarif baru ini.
Ini berarti menunjukkan, apabila aparat pemerintahan mau bekerja cepat dan tanggap dengan situasi yang terjadi, mogok angkutan bisa diredam. Daripada bersusah-susah dan mendapat kerugian dari aksi tersebut, tentu lebih menyenangkan apabila didapat win-win solution.
Angkutan kota tetap beroperasi, calon penumpang bisa leluasa menuju ke tempat tujuan. Pengorbanan kenaikan tarif Rp 1.000 tidaklah menjadi soal, apabila dibandingkan dengan kondisi ketiadaan angkutan, waktu yang terbuang, dan fisik yang lelah.
Tinggal bagaimana kita punya trik untuk berhemat dan bekerja lebih efisien, agar bisa menambal Rp 1.000 yang dipakai sebagai tambahan ongkos angkot. Bisa kan? (Machmud Mubarok)
Naskah Sorot ini bisa dibaca di edisi cetak Tribun Jabar, Kamis (20/11/2014). Ikuti pula berita-berita menarik lainnya melalui akun twitter: tribunjabar dan fan page facebook: tribunjabar.