Dari Masjid ke Masjid
Pembangunannya Butuh Waktu 37 Tahun
Penggambarannya, sejak dirintis pada 30 Januari 1954, Masjid Raya Mujahidin, yang berdiri megah di atas tanah seluas sekitar 2.800 meter persegi itu
Penulis: Dicky Fadiar Djuhud | Editor: Darajat Arianto
Oleh Dicky Fadiar Djuhud
PENGELOLA Masjid Raya Mujahidin sempat mengungkapkan kebingungannya saat ditanya perihal kekhasan masjid yang berlokasi di Jalan Sancang 6, Bandung, ini. Namun akhirnya, seolah terasa ngepas, ia mengucapkan kata "transit".
Penggambarannya, sejak dirintis pada 30 Januari 1954, Masjid Raya Mujahidin, yang berdiri megah di atas tanah seluas sekitar 2.800 meter persegi itu, lebih sering dikunjungi orang-orang yang singgah, melintas, dan melaksanakan salat di masjid. Apalagi di kiri-kanan dan lingkungan sekitar masjid memang banyak perkantoran serta sekolah.
Tak mengherankan jika orang-orang yang memakmurkan masjid adalah orang-orang kantoran dan para pelajar itu meski warga di sekitar masjid sudah barang tentu menjadi bagian dari bangunan yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Wali Kota Bandung (saat itu) R Moh Enoch Danubrata itu.
Masjid ini setiap hari sarat dengan berbagai kegiatan dan aktivitas, tidak saja dalam rangka bulan suci Ramadan, tapi memang sudah terkondisikan sejak lama setiap harinya itu selalu ada kegiatan. Di balik saratnya aktivitas yang dilakukan oleh Badan Ta'mir Masjid Raya Mujahidin (DKM) ternyata masjid ini memiliki keunikan dan mungkin bisa jadi merupakan masjid yang terlama dalam hal pembangunannya.
Percaya atau tidak, pembangunannya membutuhkan waktu 37 tahun! Subhanallah. Itu dimulai ketika berkumpulnya 25 warga dan tokoh masyarakat Kawedanaan Karees di Kantor Kawedanaan Karees. Pada waktu itu sekitar pukul 16.30, 30 Januari 1954.
Salah seorang yang hadir pada saat itu adalah R Sulaeman, kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Karees. Ia menjelaskan rencana pembangunan masjid jami di Kawedanaan Karees. Alasan Sulaeman, ketika itu di Kawedanaan Karees belum ada masjid jami.
Rencana ini mendapat sambutan yang baik dari Ketua Fraksi Islam DPRD Kota Pradja Bandung, R Oemar Soeraatmadja. Kebetulan waktu itu pemerintah telah menyediakan tanah seluas 2.800 meter persegi untuk pendirian masjid. Lalu, dibentuklah panitia pembangunan masjid yang diketuai oleh R Oemar Soeraatmadja dan dilaksanakan pembangunan tahap pertama. Waktu itu, masjidnya dinamai Zu'ama (Pahlawan).
Pada 25 Juli 1955, kepanitiaan pembangunan masjid diserahkan kepada Pimpinan Cabang Muhammadiyah. Pukul 20.00, dilakukan serah terima kepanitiaan pembangunan dari R Oemar Soeraatmadja kepada H Adang Afandi sebagai ketua Cabang Muhammadiyah Kota Bandung.
Selanjutnya, pembangunan masjid ini diserahkan kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. Pembangunan dilanjutkan dengan peletakan batu pertama oleh Wali Kota Bandung pada saat itu, R Moh Enoch Danubrata. Dengan ketulusan hati dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat, antara lain KH Sulaeman Faruq, H Koswara, dan H Zaenal Ariffien beserta kaum muslimin, akhirnya pada 1992 dapat berdiri kokoh Masjid Raya Mujahidin seperti sekarang ini. Jadi, pembangungannya dari tahun 1955 hingga 1992.
"Secara singkat, sejarahnya memang begitu. Perlu waktu yang panjang. Hingga tidak jarang, ketika dalam tahap pembangunan. Malah ada yang menyangka, masjid tengah direnovasi. Padahal, memang belum jadi saja," ujar Sani Sonjaya, Wakil Sekretaris Badan Ta'mir Masjid Raya Mujahidin saat ditemui, Rabu (15/8) lalu.
Menurut Sani, sejak berdiri hingga sekarang, Masjid Raya Mujahidin memiliki cita-cita besar, yaitu dalam bahasa sekarang, ingin menjadikan masjid ini sebagai 'tenda moral, tenda sosial, dan tenda budaya'.
Adapun menjadi tenda moral, pengertiannya adalah diharapkan Masjid Raya Mujahidin dapat menjadi pusat pembinaan keagamaan, kearifan, dan spiritualitas. Hal ini, sangat penting berkaitan dengan kondisi kelesuan dan mulai pudarnya serta akhlaq al-karimah bangsa ini.
Cita-cita ini lalu kini diwujudkan dalam bentuk program pengajian untuk keluarga, pengajian ibu-ibu, pembinaan remaja dan anak-anak, serta konsultasi keagamaan.
Menjadi tenda sosial, dijelaskan Sani, bahwa Masjid Raya Mujahidin diharapkan dapat memberikan pelayanan sosial dan pengkhidmatan untuk kemanusiaan yang terbaik. Cita-cita ini diwujudkan dengan mengembangkan program Santunan Da'i dan Guru Agama, Pemberian Beasiswa Pendidikan, Pemberdayaan Ekonomi Kaum Dhu'afa dan Peduli Kemanusiaan.