Kisah Para Petani Kopi di Desa Cupunagara Subang, Kian Berkembang Lewat BUMDes Mukti Raharja

Angga mengaku kedai kopinya ramai memesan Kopi Canggah. Hal tersebut dikarenakan Kopi Canggah memiliki keunikan.

Penulis: Resi Siti Jubaedah | Editor: Yudha Maulana
Tribun Jabar/Resi Siti Jubaedah
BUMDes hasilkan produk Kopi Canggah khas Desa Cupunagara 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Resi Siti Jubaedah

TRIBUNJABAR.ID, SUBANG - Kopi Canggah, merupakan kopi yang dihasilkan oleh Desa Cupunagara, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang.

Potensi yang ada di masyarakar Desa Cupunagara adalah penghasil biji kopi. Desa Cupunagara memiliki perkebunan kopi seluas 300 hektar. Untuk perkebunan kopi Arabika seluas 100 hektar, sedangkan sisanya kopi Robusta.

Namun lahan yang baru menghasilkan kopi sekitar Arabika kisaran 15 hektar, sisanya belum bisa dituai karena baru ditanam. Tak heran jika desa ini menghasilkan kopi yang diberi nama Kopi Canggah.

Penanaman biji kopi Arabika yang baru tiga tahun, sehingga baru menghasilkan 30-40 ton kopi dalam bentuk chery. Setelah diolah menghasilkan green bean sekitar 10 ton.

Kopi Canggah ini dikelola oleh BUMDes Mukti Raharja milik Desa Cupunagara. BUMDes Mukti Rajarha terbentuk karena ada kucuran dana desa dari pemerintah.

Kepala BUMDes Mukti Raharja, Risma Wahyuni Hidayat (23), mengaku sebelum BUMDes mendapatkan kucuran dana, harus membuat proposal usaha, seperti bisnis yang nantinya diajukan ke desa.

BUMDes hasilkan produk Kopi Canggah khas Desa Cupunagara
BUMDes hasilkan produk Kopi Canggah khas Desa Cupunagara (Tribun Jabar/Resi Siti Jubaedah)

5 Orang Penting Komentari Tragedi Kematin Haringga Sirla, Mulai Ridwan Kamil hingga Yusuf Mansur

Perincian tersebut meliputi keperluan dua unit usaha, yakni mengelola biji kopi serta pengolahan air bersih. Sehingga, BUMDes mendapatkan kucuran dana dari dana desa sebesar Rp 50 juta untuk dua unit usaha tersebut.

Satu dari para petani kopi, Mbah Tjutju mengaku sebelum adanya BUMDes, petani kopi menjual biji kopi pergelondongan pada pengepul dengan harga kisaran Rp 5000 per kilogramnya. Itupun dibayarnya tidak secara langsung.

Jajang Saripudin sebagai petani kopi juga mengaku para petani harus menunggu dua hari hingga satu minggu untuk menunggu uang dari hasi penjualannya dari pengepul. Bahkan terkadang tidak dibayar.

Harga jual yang murah tersebut dikarenakan pemetikan kopi yang kurang tepat oleh para petani kopi, seharusnya yang dipetik biji kopi yang matang, namun karena ketidaktahuannya, biji kopi yang belum matang pun dipetik.

Tak hanya itu, petani kopi juga tidak memilah terlebih dahulu mana biji kopi yang baik mana yang tidak, sehingga pengepul menghargainya dengan harga yang rendah.

Mbah Tjutju seorang petani kopi Desa Cupunagara, hendak memetik kopi
Mbah Tjutju seorang petani kopi Desa Cupunagara, hendak memetik kopi (Tribun Jabar/Resi Siti Jubaedah)

Seorang Wanita Terobos Rombongan Presiden di Tol Membuat PolisiTerluka, Ini Hukuman yang Didapatnya

Namun setelah adanya BUMDes, biji kopi dijual ke BUMDes dengan harga kisaran Rp 7000 hingga Rp 9000. BUMDes juga memberikan edukasi dan penyuluhan cara pengolahan kopi pada petani kopi bersama Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Subang.

Biji kopi yang ditampung di BUMDes kemudian diolah menjadi kopi dalam kemasan, dan memiliki brand Kopi Canggah khas Desa Cupunagara. Kopi Canggah ini dijual ke kafe-kafe yang ada di Kota Subang, Bandung, Purwakarta, dan sekitarnya, dengan harga Rp 90.000 per kilogram dalam bentuk green bean.

Selain itu, Mbah Tjutju mengaku semenjak adanya BUMDes tidak susah untuk mengangkut, serta tidak susah cari pasar penjualan, karena BUMDes lah yang melakukan hal tersebut.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved