Hari Kartini
Kartini Meninggal Setelah Melahirkan, 100 Tahun Kemudian Angka Kematian Ibu Melahirkan Masih Tinggi
Para dokter di era modern menengarai preeklampsia atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil sebagai musababnya.
TRIBUNJABAR.ID, JEPARA - Menunggu terang setelah gelap. Ingatlah ini setiap perayaan Hari Kartini: pejuang emansipasi itu meninggal empat hari setelah melahirkan.
Ada yang menduga dia dibunuh, ada pula yang beranggapan kematian itu sebagai hasil "permainan jahat Belanda".
Para dokter di era modern menengarai preeklampsia atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil sebagai musababnya.
Belum ada kepastian mengenai penyebab itu karena tak ada dokumen atau catatan yang menyatakannya.
Biarlah perbedaan pendapat ini menjadi khasanah sejarah nasional.
Merujuk Kementerian Kesehatan, angka kematian ibu tercatat 305 per 100.000 kelahiran selamat. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun lalu menyatakan angka kematian ibu melahirkan berjumlah 359 orang per 100.000 kelahiran selamat.
Baca: Demi Target 100% UNBK, Pemkot Bandung Serahkan 5.040 Laptop dan 200 Server untuk Sekolah
Baca: Warga Bandung Termasuk dalam Korban Kecelakaan di Jepang
"Berarti di Indonesia sekarang ini setiap 1,5 jam ada ibu yang meninggal karena melahirkan," ujar Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty dalam sebuah kesempatan. Jelas bukan sebuah kabar yang menggembirakan.
Fenomena ini memang bukan isu yang seksi ketika kita berbicara tentang hak-hak perempuan. Penghapusan diskriminasi dan kasus kekerasan terhadap kaum hawa lebih banyak disorot para aktivis gender, juga lebih sering diangkat media massa.
Senyatanya, problematika angka kematian ibu melahirkan yang tinggi amat patut menjadi perhatian. Mengutip pejabat Kementerian Kesehatan, Eni Gustina, masalah utama yang terjadi di hampir semua wilayah Indonesia adalah karena kehamilan di bawah usia 20 tahun.
Dengan kata lain, tingginya praktik pernikahan dini merupakan faktor pemicu. Di beberapa provinsi tertentu, Badan Pusat Statistik bahkan menemukan bahwa satu dari tiga anak perempuan menikah di bawah umur.
Simpulan itu berdasarkan hasil survei lembaga tersebut pada 2015. Lagi-lagi bukan kabar menggembirakan bagi kita, kalau tidak mengenaskan.
Ingatlah ini, Kartini menikah pada usia 24 tahun pada 1903. Pada masa itu, kita tahu pernikahan dini menjadi praktik yang biasa terjadi di seluruh lapisan masyarakat.
Penyebabnya kompleks, terutama karena adat istiadat dan kebutuhan ekonomi, juga rendahnya tingkat pendidikan. Bisa dibilang Kartini beruntung dalam hal ini.