Bisakah Pengelola MBG yang Sebabkan Keracunan Dijerat UU Perlindungan Konsumen? Ini Penjelasan HLKI

Dalam konteks hukum, pengelola MBG bisa dimintai pertanggungjawaban melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). 

Penulis: Nappisah | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Jabar/Adi Ramadhan Pratama
MASIH DIRAWAT - Korban keracunan yang masih dirawat akibat keracunan menu Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Posko Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (25/9/2025). 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto sejak awal Januari 2025 terus menuai sorotan.

Kasus terbaru adalah sejumlah siswa yang mengalami keracunan massal usai menyantap menu MBG di berbagai daerah dalam sepekan terakhir. 

Dalam konteks hukum, pengelola MBG bisa dimintai pertanggungjawaban melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). 

Hal tersebut disampaikan oleh Firman Turmantara, Ketua Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar–Banten–DKI. 

Baca juga: Imbas Keracunan MBG Massal, Wakil Ketua DPR Beri Peringatan Keras pada SPPG: Jangan Asal-asalan

Firman menjelaskan bahwa UUPK Nomor 8 Tahun 1999 dapat digunakan sebagai dasar hukum. 

Menurutnya, siswa penerima makanan MBG dapat dikategorikan sebagai konsumen, sementara pihak pengelola termasuk dalam kategori pelaku usaha.

“Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. Dengan demikian, siswa yang mengonsumsi makanan MBG adalah konsumen, sedangkan pengelola MBG adalah pelaku usaha,” ujar Firman, Minggu (28/9/2025).

Dalam Pasal 4 UUPK, hak konsumen mencakup kenyamanan, keamanan, serta keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa. 

Konsumen juga berhak menyampaikan keluhan serta memperoleh kompensasi jika produk yang diterima tidak sesuai perjanjian.

Di sisi lain, lanjut Firman, Pasal 7 mewajibkan pelaku usaha menjamin mutu barang/jasa sesuai standar, serta memberikan ganti rugi jika terjadi kerugian akibat penggunaan barang/jasa tersebut.

“Jika terbukti lalai, pengelola MBG dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 19. Bahkan ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana,” jelas Firman.

Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar. 

Firman menuturkan, pelanggaran pasal ini diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun atau denda Rp2 miliar sebagaimana Pasal 62.

Selain pidana, pengelola juga dapat dikenakan sanksi administratif, seperti pencabutan izin usaha (Pasal 60 dan Pasal 63 UUPK). 

Jika tuntutan ganti rugi tidak dipenuhi, konsumen dapat membawa perkara ini ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau pengadilan.

Baca juga: Viral Mobil SPPG Dipakai Jualan Buah di Pasar, padahal Harusnya untuk Antar Menu MBG

“Bila putusan BPSK tidak dijalankan, maka dapat diteruskan ke penyidik sebagai bukti permulaan yang cukup untuk penyidikan pidana,” tambah Firman.

Karena UUPK berfungsi sebagai umbrella act, pengelola MBG juga bisa dijerat undang-undang lain, mulai dari KUHP (Pasal 359–361 tentang kelalaian), UU Kesehatan, UU Pangan, hingga UU Higiene. 

Selain itu, perdata melalui Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum dapat digunakan.

Firman menilai, tujuan program MBG sebenarnya sangat mulia, menekan stunting, kemiskinan, dan membangun SDM unggul. Namun, insiden keracunan berulang selama sembilan bulan terakhir menunjukkan adanya krisis manajemen dan kelalaian pengawasan.

“Keracunan MBG bagi anak-anak tidak bisa ditolerir. Jika terus berulang, ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan masalah kemanusiaan,” imbuh Firman.

Firman menambahkan, masyarakat berhak menuntut secara hukum, baik perdata, pidana, maupun administratif. Upaya hukum tetap sah dilakukan meskipun pemerintah berencana mengganti program dengan bantuan tunai langsung.

Dia mengatakan, pemerintah tidak bisa lepas tangan. UUPK Bab VII mengatur kewajiban pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan pelaku usaha.

Pemerintah bahkan dapat dikenai jerat hukum berlapis, termasuk UU Pelayanan Publik dan UU Administrasi Pemerintahan.

“Korban MBG bukan hanya anak-anak yang keracunan hari ini, tapi juga masa depan bangsa. Rakyat berhak marah ketika pemerintah justru menambah anggaran MBG dalam APBN 2026 sebesar Rp335 triliun tanpa evaluasi menyeluruh,” ucapnya.

Firman mengimbau, jika kelalaian dibiarkan, rakyat bisa kembali melakukan aksi massa seperti pada bulan agustus. 

Baca juga: Cegah Terjadi Keracunan MBG, Pemkot Cimahi Bakal Panggil Seluruh Kepala SPPG

“Pemerintah harus segera bertindak, karena membiarkan program dengan niat baik berubah menjadi ancaman adalah bentuk ketidakpedulian yang berbahaya,” pungkasnya. (*) 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved