Psikolog Ungkap Cinderella Effect: Anak Tiri Lebih Rentan Kekerasan, Bahaya Setelah Perceraian

Kerentanan anak tiri terhadap kekerasan di rumah kembali mencuri perhatian publik, menyusul banyaknya temuan kasus penganiayaan anak.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
canva
ILUSTRASI PERCERAIAN - Kerentanan anak tiri terhadap kekerasan di rumah kembali mencuri perhatian publik, menyusul banyaknya temuan kasus penganiayaan yang melibatkan orangtua sambung. 

“Ketergantungan tinggi pada orang dewasa membuat mereka lebih sulit melindungi diri dari tindakan kekerasan atau melaporkan kejadian yang mereka alami,” katanya. 

Di sisi lain, posisi orang tua tiri berbeda secara fundamental dari orang tua kandung. Menurutnya, tidak semua orang mampu atau siap menjalani peran pengasuhan kepada anak yang bukan darah dagingnya. 

“Tantangan emosional yang umum muncul meliputi rasa tidak dihargai, kecemburuan terhadap kedekatan anak dengan orang tua kandung, hingga perasaan bersaing untuk mendapatkanperhatian pasangan,” ucapnya. 

Bahkan, lanjut Windia, dalam beberapa kasus, orang tua tiri membawa serta jejak trauma masa lampau maupun riwayat kekerasan yang belum teratasi. 

“Kondisi ini memengaruhi toleransi stresdan kemampuan regulasi emosi mereka. Ketika situasi keluargamenekan, orang tua tiri yang tidak memiliki keterikatanemosional kuat dengan anak lebih rentan menunjukkan perilaku agresif atau pengabaian,” ujarnya. 

Dalam situasi tersebut, dapat memicu stress ketika orang tua tiri harus beradaptasi dengan peran baru tanpa dukungan sosial atau tanpa pengalaman pengasuhan sebelumnya. 

Kombinasi faktor ini dapat menciptakan kondisi emosional yang tidak stabil, yang pada akhirnya meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak tiri.

Selain itu, dikatakannya, keluarga tiri adalah bentuk keluarga yang kompleks. Pasalnya, setiap anggota membawa sejarah, ekspektasi, dan pola interaksi yang berbeda. 

Windia menjelaskan, konflik yang sering muncul ketika anggota keluarga mencoba menegosiasikan peran baru. 

Dalam keluarga tiri, ketidakseimbangan kekuasaan antara anak dan orang tua tirisering menciptakan ketegangan. 

“Orang tua tiri mungkin merasa perlu menegakkan otoritas, sedangkan anak dapat memandang bahwa orang tua tiri tidak memiliki “hak” yang sama sepertiorang tua kandung,” ucapnya. 

Dia menilai kesenjangan persepsi ini dapat memicu konflik berulang yang berpotensi mengarah pada kekerasan jika tidak dikelola dengan baik.

“Selain itu, rumah tangga dengan tingkat konflik pasangan tinggi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, hampir selalu menempatkan anak tiri dalam situasi berbahaya,” ujarnya. 

Windia membeberkan, pada kondisi tersebut, anak dapat menjadi sasaran pelampiasan emosi atau terkena dampaklangsung dari lingkungan yang penuh kekerasan.

Ketidakstabilan keluarga tiri, baik dari segi struktur, ekonomi, maupun emosional juga memperbesar tekanan psikologis bagi seluruh anggota keluarga, termasuk anak tiri.

Sumber: Tribun Jabar
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved