Acuviarta Kartabi Ungkap Fakta Kemiskinan di Jabar Makin Dalam dan Parah

Pengamat ekonomi dari Unpas Bandung, Acuviarta Kartabi, mengingatkan pemerintah agar tidak terlena dengan turunnya angka kemiskinan di Jabar.

Penulis: Nappisah | Editor: Giri
dok pribadi
INGATKAN PEMERINTAH - Pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi. Acuviarta mengingatkan pemerintah agar tidak terlena dengan turunnya angka kemiskinan di Jawa Barat. Ia menuturkan, kualitas kemiskinan justru memburuk karena kedalaman dan keparahannya meningkat. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Acuviarta Kartabi, mengingatkan pemerintah agar tidak terlena dengan turunnya angka kemiskinan di Jawa Barat. Ia menuturkan, kualitas kemiskinan justru memburuk karena kedalaman dan keparahannya meningkat.

“Selama ini kan kita hanya melihat jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan. Padahal ada dua indikator lain yang jarang dibahas, yaitu indeks kedalaman (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Kalau melihat data BPS, dua indikator ini justru naik. Artinya persoalan kemiskinan semakin dalam dan semakin parah,” ujar Acuviarta saat dihubungi Tribun Jabar, Minggu (14/9/2025). 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Jabar per Maret 2025 mencapai 3,65 juta orang atau 7,02 persen dari total penduduk. Angka ini turun 0,06 persen dibanding September 2024 yang sebanyak 3,67 juta orang.

Namun, indeks kedalaman kemiskinan (P1) naik 0,12 poin dari 1,05 menjadi 1,17, dan indeks keparahan kemiskinan (P2) naik 0,04 poin dari 0,24 menjadi 0,29.

Baca juga: Bansos Harus Tepat Sasaran, Pemda Diminta Serius Identifikasi Kemiskinan

Acuviarta menjelaskan, P1 adalah jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

“Kalau P1 naik, berarti jarak pengeluaran mereka terhadap garis kemiskinan makin jauh. Butuh upaya yang lebih besar untuk mendorong mereka keluar dari garis kemiskinan,” ucap dia.

Sementara P2, lanjut dia, mengukur ketimpangan pengeluaran sesama penduduk miskin. "Kalau P2 naik, berarti ketimpangan di antara penduduk miskin makin melebar. Jadi sesama penduduk miskin pun ada yang lebih miskin dibanding yang lain,” kata Acuviarta.

Ia menambahkan, kenaikan P1 dan P2 lebih tinggi terjadi di pedesaan dibandingkan perkotaan. 

“Persoalan kemiskinan di perdesaan itu jauh lebih kompleks. Jumlah penduduk miskin di kota memang lebih banyak, tapi dari sisi kedalaman dan keparahan kemiskinan, desa lebih parah,” ujarnya.

Acuviarta juga menyinggung perbedaan garis kemiskinan antara versi BPS dan Bank Dunia. Menurutnya, perbedaan ini wajar karena garis kemiskinan yang dipakai tidak sama. 

"Spiritnya sebenarnya bagaimana kita bisa meningkatkan garis kemiskinan ke depan sehingga indikator kemiskinan sejalan dengan upaya menurunkan jumlah penduduk miskin,” tuturnya.

Baca juga: Sumedang-Bangladesh Jalin Kerja Sama Atasi Kemiskinan Ekstrem dan Hapus Stunting

Ia mengingatkan bahwa 75 persen garis kemiskinan di Indonesia ditentukan oleh pengeluaran untuk makanan. Sementara 25 persen sisanya adalah non-makanan seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

“Penanganan kemiskinan ke depan harus mendorong keterjangkauan masyarakat miskin terhadap kebutuhan makanan, terutama beras. Bantuan sosial berbasis pangan harus dioptimalkan,” kata Acuviarta.

Selain bantuan sosial, ia menilai penciptaan lapangan kerja menjadi kunci penurunan kemiskinan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved