Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Perubahan iklim global diperkirakan akan memicu pola cuaca ekstrem di masa depan, dengan curah hujan tinggi saat musim basah dan kekeringan yang makin panjang serta parah di musim kemarau.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Perkumpulan Ahli Air Indonesia (PAAI), Irwan Iskandar, Ph.D., dalam Konferensi Internasional Pertemuan Ilmiah PAAI ke-7 yang digelar Program Studi Magister Teknik Air Tanah, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB.
“Di masa depan itu yang mungkin akan terjadi itu ketika musim basah, air hujan itu intens tinggi. Tapi ketika kekeringan, durasinya makin panjang dan makin parah,” ujar Irwan di ITB Ganesa, Selasa (5/8/2025).
Kondisi ini, menurut Irwan, berimplikasi langsung pada keberlangsungan cadangan air tanah.
Saat hujan datang terlalu deras, air cenderung menjadi limpasan (run off) daripada meresap ke dalam tanah, sehingga tidak mengisi cadangan air bawah tanah secara optimal.
Di sisi lain, saat musim kemarau, tidak ada air yang masuk sama sekali ke dalam tanah.
Irwan menekankan pentingnya perencanaan adaptasi untuk menghadapi tantangan ini.
“Kita harus punya rencana beradaptasi di masa depan. Di pemerintah kita itu ada namanya Bappenas, badan yang punya otoritas dan kebijakan untuk beradaptasi atau memitigasi perubahan iklim,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa upaya menjaga keberlanjutan air tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk teknologi imbuhan buatan atau metode konservasi lainnya.
Irwan menjelaskan air tanah tersimpan di pori-pori batuan bawah tanah dan batuan di bawah permukaan tanah memiliki porositas sekitar 20–40 persen, yang diisi oleh air, dan ketika air tanah dipompa, air dari pori-pori ini ditarik ke luar.
“Kalau kecepatan pengambilan air lebih cepat daripada kemampuan batuan meluluskan air, akibatnya air turun dan pori-pori menjadi kosong. Itu bisa menyebabkan tanah ambles,” jelasnya.
Amblesan tanah atau penurunan muka tanah (subsidence) ini merupakan dampak serius yang sudah mulai terlihat di beberapa wilayah.
Selain itu, Irwan juga menyoroti soal pola pikir masyarakat yang masih menganggap air sebagai sumber daya yang bisa diambil secara bebas.
“Air itu menarik karena di satu sisi adalah hak asasi, kalau orang enggak dapat air, ya bisa mati 2-3 hari. Tapi air juga barang ekonomi, yang perlu dibayar di bagian tertentu,” ucapnya.