Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG -Nyeri sendi sering kali dianggap sebagai hal sepele dan wajar terjadi setelah aktivitas berat atau usia bertambah. Namun, tidak semua nyeri sendi bisa dibiarkan begitu saja.
Menurut dr. Dinar Faricy Yaddin, Sp.PD-KR, FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam konsultan reumatologi di Santosa Hospital Bandung Central, nyeri sendi adalah sensasi tidak nyaman atau menyakitkan yang terjadi di titik temu antara dua tulang.
"Sendi itu seperti lutut, siku, bahu, jari-jari, pergelangan tangan dan kaki tempat dua tulang bertemu. Tubuh manusia memiliki sekitar 350 sendi. Jadi nyeri sendi bisa dirasakan di banyak lokasi," jelasnya.
Nyeri sendi bisa muncul akibat banyak faktor, mulai dari yang ringan hingga serius. Beberapa penyebab umum di antaranya: cedera atau aktivitas berlebihan, seperti olahraga intens atau mengangkat beban terlalu berat.
Proses degeneratif akibat usia, seperti osteoartritis, terutama pada lutut dan pinggang, yang sering terjadi pada mereka dengan berat badan berlebih.
Kemudian, infeksi, termasuk viral arthritis (infeksi virus), arthritis septik (infeksi bakteri pada sendi), dan arthritis tuberculosis (infeksi TB yang menyerang sendi).
Masalah metabolik, seperti penyakit asam urat (gout), yang menyebabkan nyeri mendadak, pembengkakan, dan kemerahan, umumnya di jempol kaki.
Penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis (RA), lupus, psoriatic arthritis, hingga ankylosing spondylitis hingga penyakit lain, seperti kanker atau hemofilia.
Nyeri sendi, kata dia, bukan hanya dialami oleh orang tua. Namun, kawula muda juga berpotensi mengalami hal serupa.
"Anak muda juga bisa mengalami nyeri sendi, terutama jika disebabkan oleh penyakit autoimun, infeksi virus, atau bahkan asam urat. Saat ini cukup banyak ditemukan pasien muda dengan keluhan nyeri sendi akibat gaya hidup atau kondisi medis tertentu," ujarnya.
Tidak semua nyeri sendi memerlukan perhatian medis. Menurut dr. Dinar, nyeri sendi yang normal biasanya muncul setelah kelelahan atau aktivitas berat dan akan hilang dengan istirahat.
Namun, beberapa ciri nyeri sendi yang harus diwaspadai antara lain nyeri disertai pembengkakan, kemerahan, hangat saat diraba, mengganggu pergerakan sendi, terjadi secara mendadak atau menetap dalam waktu lama.
Nyeri sendi juga menyerang lebih dari satu sendi. Selain itu, hal yang diwaspadai nyeri sendi disertai demam, penurunan berat badan, kelelahan ekstrem. Adanya gejala lain seperti ruam kulit, rambut rontok, atau gangguan organ lainnya.
dr. Dinar menyarankan untuk tidak menunda konsultasi ke dokter reumatologi jika nyeri sendi disertai tanda-tanda peradangan atau berlangsung terus-menerus.
“Reumatologi menangani penyakit-penyakit yang menyerang sendi, tulang, dan otot, terutama yang bersifat kronis dan autoimun."
Penanganan yang tepat, lanjut dia, sejak awal bisa mencegah komplikasi permanen seperti deformitas sendi pada Artritis Reumatoid (RA).
“Ketika pasien datang keluhan nyeri, pertama dokter akan melakukan anamnesa atau wawancara untuk mengetahui riwayat penyakit pasien,” katanya.
Evaluasi selanjutnya dokter akan melakukan pemeriksaan fisik. Pada anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut, dr. Dinar menyebut, dokter akan menentukan lokasi tepat nyeri, apakah di sendi atau diluar sendi, jumlah sendi yang terkena, sendi apa saja yang terkena, apakah ada tanda peradangan, durasi nyeri dan juga gejala-gejala lain yang menyertai.
“Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang untuk mengkonfirmasi diagnosis dan juga komplikasi yang mungkin bisa terjadi, diantaranya pemeriksaan darah rutin, penanda peradangan (LED, CRP), cairan sendi, fungsi paru, hati dan ginjal,” jelasnya.
Ia menambahkan, apabila ada kemungkinan ke arah penyakit autoimun, dokter akan melakukan pemeriksaan yang lebih khusus seperti pemeriksaan ANA, RF, anti CCp, HLA-B27.
“Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan adalah pencitraan seperti rontgen, USG, CT scan, MRI, biopsy. Pemeriksaan ini tentu tidak dilakukan untuk semua pasien, tapi berdasarkan indikasi kemungkinan klinis pada pasien tersebut,” jelasnya.
Untuk nyeri sendi ringan, dr. Dinar menyarankan cukup istirahatkan sendi dan kompres dingin. Obat seperti paracetamol bisa dikonsumsi. Namun, penggunaan obat anti nyeri secara sembarangan justru berisiko.
“Penggunaan jangka panjang tanpa pengawasan dapat merusak ginjal dan hati,” tegasnya.
Pencegahan nyeri sendi tergantung dari penyebabnya. Misalnya, untuk osteoartritis: jaga berat badan ideal, hindari aktivitas berlebihan, dan pilih olahraga yang tidak membebani sendi seperti renang atau bersepeda. Untuk penyakit seperti asam urat, hindari makanan tinggi purin seperti jeroan, soda, dan makanan manis tinggi fruktosa.
Salah satu mitos yang sering beredar adalah penderita asam urat tidak boleh makan sayur hijau.
“Itu tidak benar. Sayuran justru dianjurkan karena tidak memicu kekambuhan. Yang harus dihindari adalah jeroan, alkohol, soda, dan makanan tinggi fruktosa,” imbuh dr. Dinar.
Sendi adalah penggerak utama tubuh dalam aktivitas harian. Kerusakan sendi dapat mengganggu kualitas hidup secara signifikan.
“Jangan tunggu sampai nyeri sendi mengganggu aktivitas atau menimbulkan deformitas. Lakukan pemeriksaan dini jika gejala berlangsung lama atau disertai tanda peradangan,” katanya. .
dr. Dinar menyampaikan, kunci utama menjaga kesehatan sendi adalah gaya hidup sehat jaga berat badan, makan bergizi, berolahraga, dan bijak dalam menggunakan sendi setiap hari.
"Nyeri sendi jangan dianggap remeh, apalagi jika berulang atau disertai tanda peradangan seperti bengkak, merah, teraba hangat, mengakibatkan gangguan gerak," imbuhnya.
Pasalnya, nyeri sendi bisa menjadi tanda awal penyakit serius seperti rheumatoid arthritis, lupus, atau penyakit lainnya. "Deteksi dan penanganan dini dapat mencegah kerusakan permanen.
Kenali gejala yang perlu diwaspadai. Jika mengalami nyeri sendi menetap, kaku pagi hari >30 menit, bengkak, merah, perabaan hangat, mengakibatkan gangguan gerak, segera konsultasi ke dokter," jelasnya.
dr. Dinar turut berpesan, jangan sembarangan mengonsumsi obat nyeri. Penggunaan jangka panjang tanpa pengawasan dapat merusak ginjal, hati, dan memperburuk penyakit.