Tegar di Pinggir Jalan, Pasangan Asal Garut Ini Bertahan Menjual Bendera di Tengah Sepi Pembeli

Berjualan bendera menjelang 17 Agustus 2025 terasa berat bagi Andi (43) dan Erni (36). Mereka menjajakan jualannya di Jalan Kopo Bihbul, Soreang.

Penulis: Adi Ramadhan Pratama | Editor: Giri
Tribun Jabar/Adi Ramadhan Pratama
JUAL BENDERA - Sepasang suami istri asal Garut berjualan bendera di Jalan Kopo Bihbul, Desa Pamekaran, Ke camatan Soreang, Kabupaten Bandung, Kamis (14/8/2025). 

Laporan Wartawan Tribunjabar.id, Adi Ramadhan Pratama 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Dari pinggir Jalan Kopo Bihbul, Desa Pamekaran, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, terlihat sepasang suami istri berjualan bendera Merah Putih. Andi (43) dan Erni (36) berdiri di antara deretan bendera Merah Putih yang berkibar dihembus angin. 

Dari kejauhan, lapak mereka mencolok dengan warna merah dan putih yang kontras. Namun di balik pemandangan itu, tersimpan kisah perjuangan yang tak kalah berkobar.

Tahun ini, perjuangan mereka terasa lebih berat. Sejak memulai berjualan pada 29 Juli 2025, Andi dan istrinya sudah melihat tanda-tanda sepinya pembeli. 

"Awal-awal buka banyak yang beli. Tapi aneh, semakin dekat 17 Agustus, malah makin sedikit yang datang. Sekarang sehari kadang enggak ada yang beli, kadang cuma laku satu-dua bendera," ujar Andi kepada Tribun Jabar, Kamis (14/8/2025).

Menurut Andi, kondisi ini berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

Dia menduga, tren belanja online menjadi salah satu penyebab. Ditambah munculnya isu bendera One Piece yang sedang ramai dibicarakan dan banyak dicari. 

Baca juga: Bendera One Piece Berkibar di Karnaval Street Lembang , Warga: Bagus, Keren

"Banyak yang nyari bendera itu (One Piece), dari anak-anak sampai kakek-kakek. Tapi saya enggak berani jual, takut. Cari aman saja. Mending bendera Palestina," katanya.

Meski pembeli sepi, pasangan ini tetap setia menjajakan bendera Merah Putih berbagai ukuran. 

Bendera ukuran sedang menjadi primadona, sementara ukuran lain tetap ada peminatnya meski tak seramai itu. 

"Harganya mulai Rp 10 ribu sampai yang paling mahal Rp 250 ribu, tergantung ukuran dan varian," ucapnya.

Bendera-bendera itu bukan produksi sendiri. Andi mendapatnya dari seorang 'bos' di Garut.

Sistemnya, dia menjual kembali barang yang sudah disuplai dengan harga tertentu, dan mengambil keuntungan dari selisih harga jual. 

"Kadang kalau enggak laku, ya nombok. Malah ada yang kita jual sama persis dengan harga dari bos, enggak ada untung, cuma buat nutup modal. Daripada enggak jalan sama sekali," ujarnya.

Bagi Andi dan Erni, berdagang bendera adalah pekerjaan musiman. Mereka melakoninya setiap tahun, berganti-ganti jenis dagangan sesuai momen. 

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved