Kisah Getir Kakek Tukang Sol Sepatu di Bogor Bertahan Mengais Rezeki Sejak 1985 dari Harga Rp 200

Inilah kisah getir yang dijalani Saepuloh (60), seorang kakek Tukang Sol Sepatu, bertahan mengais rezeki dengan profesinya itu sejak tahun 1985 silam.

Editor: Hilda Rubiah
TribunnewsBogor.com/Yudistira Wanne
LANSIA PENCARI NAFKAH - Saepuloh, tukang sol sepatu di Pasar Cicangkal Rumpin, Kabupaten Bogor. Dia sudah menekuni jasa service sepatu sejak tahun 1985 dari dulu harga Rp 200 perak 

TRIBUNJABAR.ID - Inilah kisah getir yang dijalani Saepuloh (60), seorang kakek Tukang Sol Sepatu.

Ia memilih bertahan mengais rezeki dengan profesinya itu sejak tahun 1985 silam.

Bukan tanpa alasan, di usianya yang sudah senja, hanya itu satu-satunya keterampilan yang dia kerjakan sejak dulu kala.

Meski kini tenaganya sudah tak sama, wajah kusut dipenuhi peluh keringat membasahi sekujur tubuh, Saepuloh senantiasa menjual jasanya semaksimal mungkin.

Saepuloh tetap gigih bekerja untuk menafkahi keluarga meski harus menjadi Tukang Sol Sepatu.

Baca juga: Kisah Hendy Pemuda Sumedang Nekat Jalan Kaki ke Makkah Modal Rp50 Ribu Tempuh Perjalanan 9 Bulan

Dia menolak menyerah dalam menjalani kehidupan meski telah memasuki usia senja.

Ya, setiap hari, Saepuloh mencari nafkah sebagai Tukang Sol Sepatu di Pasar Cicangkal, Desa Tamansari, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.

Berbekal jarum, lem, semir dan sejumlah peralatan lainnya, tangan pria ringkih itu cekatan memperbaiki sepatu milik konsumennya.

Pria dengan usia kepala enam itu tercatat sebagai warga Garut, Jawa Barat.

Dia merantau dan telah menjadi Tukang Sol Sepatu di Pasar Cicangkal sejak tahun 1985 dengan harga jasa perbaikan sepatu kala itu hanya Rp 200 perak.

"Tepat pangkalan di depan pasar Cicangkal jalan Raya Pasar Cicangkal. Mulai sejak tahun 1985 dari jasa ngesol Rp 200 sampai sekarang Rp 20 ribu sepasang ," ujarnya, Senin (11/8/2025).

"Ya kalau dulu sendal sepasang Rp 150 - 200 perak sekarang lebih sudah gak seperti dulu,"  sambungnya.

Himpitan ekonomi dan besarnya kebutuhan biaya hidup, membuat dirinya harus bertekad bulat dan rela berjibaku menafkahi keluarganya.

"Tidak tau mau kerja apalagi, hanya ini yang dapat saya lakukan," jelaanya.

Dengan wajah sendunya, Saepuloh berjibaku menjalani hidup mulai dari terbit hingga terbenam matahari, namun penghasilan yang didapati hanya mencukupi untuk makan saja.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bogor
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved