Anggota DPR RI Habib Syarif Soroti Empat Isu Revisi UU Sisdiknas Dalam Rakorwil LP Maarif NU

Komisi X DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). 

Tribun Jabar/ Nazmi Abdurrahman
RAKORWIL - Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad saat di acara Rakorwil LP Maarif NU Jawa Barat, Kota Bandung, Sabtu (9/8/2025). 

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Komisi X DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). 

Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad mengatakan regulasi baru ini akan mengintegrasikan tiga undang-undang penting di sektor pendidikan, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Habib Syarief mengatakan bahwa berdasarkan pembahasan sementara, terdapat 12 problem utama pendidikan di Indonesia meliputi ketimpangan tata kelola, pendanaan dan mandatory spending, ketimpangan pengakuan pendidikan keagamaan dan nonformal, relevansi kurikulum, evaluasi standar nasional, masalah tenaga pendidik, perluasan wajib belajar, penguatan PAUD, inklusivitas kelompok rentan, pengawasan pendidikan, akuntabilitas pendidikan tinggi mencakup pendidikan kedinasan, serta penyesuaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dari 12 masalah pendidikan itu, Habib Syarief menyoroti empat isu utama pendidikan di Jawa Barat yang dinilai relevan dan mendesak.

Baca juga: Tunjukkan Kelas, Persib Sementara Puncaki Klasemen Super League 2025/2026 Setelah Bungkam SP 2-0

Pertama, pendanaan dan mandatory spending pendidikan. Dikatakan Habib, amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan alokasi minimal 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan, masih sering disimpangi. 

Berdasarkan data, alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2025 mencapai Rp724,3 triliun, setara dengan 20 persen dari total anggaran belanja negara. 

Namun, kurang dari 22 persen anggaran tersebut yang dikelola langsung oleh Kemendikdasmen, Kemendikristek, dan Kementerian Agama. Bahkan, anggaran untuk Kemendikdasmen itu yang terkecil, kurang dari 5 persen. 

“Sebagian besar anggaran lainnya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk untuk pendidikan kedinasan dan program-program lain yang tidak langsung berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan,” ucap Habib Syarif saat ditemui di Rakorwil LP Maarif NU Jawa Barat, Kota Bandung, Sabtu (9/8/2025).

Kedua, terkait disharmoni kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam revisi UU Sisdiknas, DPR berencana menegaskan pembatasan tegas kewenangan kedua pihak agar tidak saling tumpang tindih dan menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Ketiga, adanya dikotomi sekolah Negeri dan Swasta yang selama ini cenderung mengutamakan sekolah negeri. Padahal, Putusan MK No.58/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK No.3/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. 

Baca juga: Jumlah Penerima Bansos yang Main Judi Online Tertinggi di Jabar, Perlu Tindak Tegas Pemerintah

“Dalam revisi UU Sisdiknas, ketentuan ini akan ditegaskan agar sekolah swasta yang memenuhi standar juga berhak mendapat pembiayaan dari negara,” ucapnya. 

Terakhir, kedudukan lembaga Pesantren. Secara tegas, Habib menolak penggabungan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren ke dalam revisi UU Sisdiknas

Pesantren memiliki kekhasan dan kemandirian, sehingga perlu diatur secara terpisah. Meski demikian, perlu ada jaminan kesetaraan lulusan, pendidik, dan satuan pendidikan pesantren dalam skema pendidikan nasional tanpa menyeragamkan sistemnya.

“Ketimpangan alokasi anggaran pendidikan keagamaan juga penting. Meski mencakup lebih dari 23 persen peserta didik nasional, pendidikan keagamaan hanya mendapat 11–12 persen dari total anggaran pendidikan,” ucapnya. (*)

 

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved