Fenomena Rojali dan Rohana, Alarm bagi Bisnis yang Tak Mau Beradaptasi

Fenomena toko-toko ramai, mal penuh sesak, antrean panjang di eskalator, tapi kasir tetap sepi terlihat belakangan ini. 

Penulis: Nappisah | Editor: Giri
Dok. Pribadi
FENOMENA ROJALI - Dosen Prodi Manajemen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia, Heny Hendrayati. Heny menilai fenomena rojali dan rohana harus disikapi dengan positif oleh pelaku usaha. 

"Ini berarti sebagian besar penduduk sudah memiliki akses informasi dan kemampuan untuk membandingkan produk secara lebih kritis," ucap dia.

Di tengah tantangan ini, Heny mendorong pelaku usaha untuk tidak hanya pasrah, tapi segera mengadopsi strategi omnichannel menggabungkan layanan toko fisik dan platform digital. Strategi ini memungkinkan konsumen yang sudah melihat barang di toko bisa melanjutkan pembelian secara online, misalnya lewat pemindaian kode QR yang terhubung ke toko e-commerce.

“Menurut laporan Accenture tahun 2023, perusahaan yang mengimplementasikan omnichannel bisa meningkatkan konversi pelanggan hingga 30 persen. Jadi ini bukan pilihan, tapi kebutuhan,” tegas Heny.

Selain itu, pengusaha juga didorong memanfaatkan data pengunjung. Misalnya, pengumpulan data kontak pengunjung yang datang ke toko (melalui form digital, giveaway, atau kupon) memungkinkan pelaku usaha melakukan retargeting marketing menyasar kembali konsumen yang sebelumnya belum membeli.

Di sisi lain, pengalaman berbelanja juga harus diperkuat. Konsumen kini datang ke toko bukan hanya untuk membeli, tapi juga untuk merasakan atmosfer, mencoba produk langsung, atau sekadar menikmati suasana. Maka toko-toko dan mal dituntut menciptakan pengalaman yang menyenangkan dan imersif.

“Ini bisa berupa demonstrasi produk, area foto, atau acara komunitas yang mempererat hubungan antara konsumen dan brand,” ujar Heny.

Menurut Heny, di era digital saat ini, kunci keberhasilan bisnis tidak lagi bergantung pada agresivitas promosi, tetapi pada kemampuan membangun hubungan yang kuat dengan konsumen. Interaksi, kepercayaan, dan pengalaman menjadi pilar utama.

“Pertanyaannya bukan lagi kenapa mereka tidak beli sekarang, tapi apa yang bisa kita lakukan agar mereka mau kembali dan membeli nanti,” katanya.

Fenomena rojali dan rohana, tambah Heny, bukanlah bencana. Mereka justru mengingatkan para pelaku usaha untuk segera memperbarui strategi. Dunia berubah, konsumen berubah, maka cara menjual pun harus ikut berubah.

“Bisnis yang tidak bisa memahami perubahan ini mungkin akan tetap ramai pengunjung, tapi kosong transaksi. Di situlah alarmnya berbunyi,” ucapnya.

Menghadapi rojali dan rohana berarti menghadapi konsumen yang lebih cermat dan lebih selektif. Bagi yang mampu menyesuaikan diri, ini adalah peluang untuk menciptakan loyalitas jangka panjang.

“Jangan kejar transaksi sesaat. Bangun hubungan, manfaatkan data, hadirkan pengalaman, dan pastikan merek Anda tetap relevan. Karena dalam dunia yang makin terhubung, yang menang bukan yang paling murah, tapi yang paling dekat di hati konsumen,” jelas Heny. (*) 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved