Upacara Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Tangkuban Parahu Tegaskan Pesan Spiritual Lintas Adat

Kegiatan tahunan yang sarat nilai spiritual dan budaya ini kembali dihelat sebagai ajang penyatuan manusia dengan alam semesta serta pengingat.

|
Arista Montana
Penanaman pohon yang dilakukan Yayasan Paseban bersama komunitas Arista Montana di Megamendung Bogor pada 2024. 

TRIBUNJABAR.ID, BOGOR – Ribuan peserta dari berbagai penjuru Nusantara mengikuti upacara Ngertakeun Bumi Lamba yang digelar di kawasan Tangkuban Parahu, Bandung Barat, pada Sabtu, 22 Juni 2025.

Kegiatan tahunan yang sarat nilai spiritual dan budaya ini kembali dihelat sebagai ajang penyatuan manusia dengan alam semesta serta pengingat akan pentingnya merawat bumi secara kolektif.

Sejak pagi hari, peserta mulai berdatangan ke lokasi dengan mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah, seperti Sunda, Bali, Dayak, dan Minahasa. Keberagaman yang tampak dalam prosesi tersebut menjadi simbol nyata persatuan dalam perbedaan, yang turut menjadi pesan utama dari ritual ini.

Ngertakeun Bumi Lamba berasal dari Bahasa Sunda. Kata “ngertakeun” berarti memelihara dan memakmurkan, sementara “bumi lamba” merujuk pada tanah yang luas dan agung—simbol dari alam semesta itu sendiri.

Tradisi ini berakar pada nilai-nilai spiritual kerajaan Sunda kuno dan telah dipopulerkan kembali sejak tahun 1964 oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata.

Upacara dimulai dengan denting karinding yang dimainkan oleh seorang lelaki dari Baduy. Getaran alat musik tradisional itu mengawali prosesi dengan nuansa hening dan sakral.

Iringan genta dari para sulinggih Bali kemudian menyusul, disusul lantunan mantra lintas adat, alunan angklung, tetabuhan Minahasa, serta doa-doa dari berbagai latar kepercayaan. Musik dan doa yang dihadirkan membentuk harmoni spiritual yang menggambarkan kesatuan antara manusia dan alam.

Suasana khidmat tercipta saat para pendekar, suhu, dan tokoh adat dari berbagai daerah duduk sejajar dalam satu lingkaran. Tidak ada hirarki, semua melebur dalam kesadaran akan posisi manusia di hadapan Sang Pencipta dan semesta.

Ngertakeun Bumi Lamba juga menjadi ajang penyampaian pesan-pesan penting terkait pelestarian lingkungan dan spiritualitas.

Tokoh lingkungan dari Yayasan Paseban, Andy Utama, turut hadir dalam kegiatan ini. Dalam pernyataannya menegaskan pentingnya keharmonisan manusia dengan alam. “Janganlah kita berhitung dengan semesta, karena bila semesta mulai menghitung kepada kita, saat itulah kita akan menyesal,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya cinta kasih terhadap semua makhluk, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di dalam bumi. Menurutnya, suara alam adalah panggilan spiritual yang seharusnya dijawab manusia dengan kesadaran ekologis.

Pesan serupa juga disuarakan oleh para pemimpin adat yang hadir. Panglima Pangalangok Jilah dari Dayak menyampaikan seruan “Taariu!” dari lubuk hatinya yang dalam, sebagai bentuk pengingat akan janji manusia kepada bumi. Sementara itu, Panglima Minahasa menegaskan, “Gunung adalah penjaga. Merawatnya berarti merawat masa depan anak cucu.”

Di tengah semangat pelestarian tersebut, Yayasan Paseban bersama komunitas Arista Montana turut memperlihatkan komitmen nyata mereka dalam menjaga alam.

Di kawasan Gunung Gede-Pangrango—yang dipercaya sebagai salah satu dari tiga titik spiritual penting bersama Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Wayang—mereka telah menanam lebih dari 15.000 pohon, mulai dari puspa, rasamala, damar, jampinang, hingga bambu.

Aksi tersebut menjadi wujud konkret dari filosofi “ngertakeun” yang tidak hanya dijadikan simbol, tetapi juga diterapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved