Pemerintah Berencana Naikkan Tarif Ojol 15 Persen, tapi Willingness to Pay Konsumen Cuma 5 Persen

Direktur RISED,Fajar Rakhmadi mengatakan, besaran kenaikan tarif yang dicanangkan pemerintah terlampau besar.

Editor: Ravianto
Tribun Jabar/Deanza Falevi
UNJUK RASA OJOL - Ribuan pengemudi ojol memadati Jalan Veteran, dalam aksi unjuk rasa menuntut keadilan dari perusahaan aplikator, Selasa (20/5/2025) pagi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana menaikkan tarif ojek online (ojol) maksimal 15 persen. 

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana menaikkan tarif ojek online (ojol) maksimal 15 persen.

Rencana ini merupakan tindak lanjut dari aksi demonstrasi ojol beberapa waktu lalu yang menuntut penghapusan potongan aplikator.

Direktur Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), Fajar Rakhmadi mengatakan, besaran kenaikan tarif yang dicanangkan pemerintah terlampau besar. 

Menurutnya hal ini bisa berisiko pada turunnya penggunaan jasa transportasi harian tersebut, yang turut berdampak pada pendapatan mitra pengemudi.

Terlebih, konsumen juga cukup sensitif terhadap perubahan harga.

“Kenaikan tarif 8–15 persen tergolong cukup tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan hasil survei kami sebelumnya yang menunjukkan willingness to pay konsumen hanya sekitar 5 persen," kata Fajar kepada wartawan, Selasa (1/7/2025). 

Oleh karena itu, ia menyebut pemerintah harus menetapkan tarif yang adil bagi semua pihak, baik konsumen, mitra pengemudi dan aplikator. 

Fajar mengatakan, kenaikan tarif ini bisa jadi angin segar bagi mitra pengemudi dengan catatan permintaan tetap stabil setelah kebijakan diterapkan.

Tapi di sisi lain, pengguna akan merasa berat karena harga jasa yang semakin mahal.

“Bagi perusahaan aplikasi, efeknya bisa beragam tergantung pada respons pasar terhadap penyesuaian tarif ini,” katanya.

Sementara jika potongan aplikator dikurangi, hal ini juga bisa berpengaruh terhadap kualitas layanan.

Misalnya, turunnya performa aplikasi menjadi tidak stabil, kerap mengalami gangguan sistem (crash), kapasitas server terbatas, hingga berkurangnya fitur pendukung.

Sejumlah hal ini menurutnya justru berpotensi menurunkan produktivitas dan pendapatan pengemudi.

“Gangguan tersebut dapat menyebabkan keterlambatan dalam menerima pesanan, peningkatan komplain dari konsumen, serta pengalaman pengguna yang kurang optimal," kata dia.

Sebaliknya, jika efisiensi biaya dapat dicapai tanpa mengorbankan kualitas dan performa layanan, seperti optimalisasi proses internal, efisiensi teknologi, atau penyesuaian biaya operasional non-layanan, maka dampak terhadap pengemudi bisa diminimalkan. 

Dalam kondisi tersebut, pendapatan pengemudi cenderung tidak terpengaruh secara signifikan.

Sehingga, Fajar menyebut perlunya kajian menyeluruh terhadap strategi efisiensi biaya, agar tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan perusahaan, kesejahteraan pengemudi, dan kepuasan konsumen.(*)

Danang Triatmojo/Tribunnews

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved