Data Garis Kemiskinan dari BPS Dinilai Tak Relevan, Indikator Tak Berubah Sejak 1976, Ini Bahayanya
Data kemiskinan yang tak relevan dinilai berbahana sebab berpotensi bikin warga miskin tak terjangkau bantuan sosial
TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - Bank Dunia mengubah metode penghitungan garis kemiskinan, kini angka data kemiskinan Indonesia antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) jauh berbeda.
Data kemiskinan yang dirilis BPS pun dinilai tidak relevan dengan kondisi sebenarnya.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
Data kemiskinan yang tak relevan dinilai berbahana sebab berpotensi bikin warga miskin tak terjangkau bantuan sosial (bansos) dari pemerintah.
Baca juga: Bank Dunia Ubah Hitungan Garis Kemiskinan, Kini 2 dari 3 Warga Indonesia Tergolong Miskin
Bhima Yudhistira mengatakan, tak relevannya data kemiskinan dari BPS dikarenakan indikantor yang digunakannya.
Indikator pengukuran garis kemiskinan oleh BPS tak mengalami perubahan sejak tahun 1976 atau 49 tahun lalu.
Hal tersebut berbeda dari lembaga internasional, termasuk Bank Dunia (World Bank).
Bank Dunia secara rutin menyesuaikan indikator kemiskinan berdasarkan paritas daya beli (PPP) yang mengikuti perubahan konsumsi dan biaya hidup masyarakat.
Bank Dunia sendiri baru mengubah indikator garis kemiskinan internasional dari PPP 2017 menjadi PPP 2021. Perubahan tersebut dimulai Juni 2025.
Perubahan ini secara signifikan meningkatkan jumlah penduduk miskin secara global.
Oleh karenanya, Bhima mendesak agar BPS segera mengubah indikator perhitungan garis kemiskinan nasional agar sesuai dengan kondisi realitas masyarakat Indonesia saat ini, yang sudah banyak berubah dalam 50 tahun terakhir.
"BPS perlu segera melakukan revisi garis kemiskinan dengan ajak akademisi independen dan lembaga internasional," ujarnya, dilansir dari Kompas.com, Selasa (10/6/2025).
Baca juga: Anggota DPR Sebut Dedi Mulyadi Kalap soal Vasektomi Penerima Bansos gara-gara Beban Angka Kemiskinan
Menurutnya, perubahan ini perlu dilakukan BPS karena data yang dirilis BPS menjadi acuan pemerintah untuk menyusun kebijakan, dan pengentasan kemiskinan menjadi salah satu agenda utama pemerintah.
"Khawatirnya, jumlah orang miskin yang understated berisiko membuat bantuan sosial tidak meng-cover penduduk yang sebenarnya masuk kategori miskin," ucapnya.
Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin juga menyampaikan kekhawatiran serupa.
Dia menilai standar garis kemiskinan BPS terlalu rendah sehingga tidak mencerminkan realitas.
Bahkan, standar kemiskinan yang tidak tepat dapat berisiko membuat pemerintah menjadi lengah menurunkan rasio kemiskinan karena merasa angka kemiskinan rendah, sedangkan realitas yang terjadi justru sebaliknya.
"Benchmark yang terlalu rendah ini membuat kita complacent, tidak all out memberantas kemiskinan. Cukup dengan memberikan bansos sedikit saja, puluhan juta orang terangkat ke atas garis kemiskinan tersebut," ucapnya.
Sementara itu, jika hanya merujuk data Bank Dunia, menurut Wijayanto, standar kemiskinannya terlalu tinggi untuk Indonesia yang baru saja memasuki kategori negara berpenghasilan menengah atas.
Sebab, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia yang sebesar 4.960 dollar AS di 2024 lebih dekat ke batas bawah negara berpenghasilan menengah atas dari World Bank, yang memiliki kisaran PDB 4.500-14.000 dollar AS per kapita.
"Kendatipun demikian, dunia akan mengacu pada data World Bank, sehingga kita harus menjadikannya acuan penting," kata Wijayanto.
Oleh karenanya, dia mendorong BPS agar mengubah metode penghitungan garis kemiskinan yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia agar program-program pemerintah untuk mengurangi kemiskinan, seperti pemberian bansos dan subsidi, dapat menyasar masyarakat yang tepat.
Baca juga: Bank Dunia Ubah Hitungan Garis Kemiskinan, Kini 2 dari 3 Warga Indonesia Tergolong Miskin
"Saya rasa perlu segera, jangan sampai data BPS dianggap dunia tidak relevan, bahkan misleading. Selain itu, data yang benar akan membantu meningkatkan efektivitas program pengentasan kemiskinan; ini yang paling penting," tuturnya.
Sebagai informasi, data resmi dari BPS menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen dari total penduduk atau sekitar 24,06 juta jiwa.
BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN), bukan menggunakan PPP seperti Bank Dunia.
Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan.
Data tersebut sangat jauh berbeda dengan data dari Bank Dunia.
Menurut laporan Bank Dunia April 2025, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk.
Kemudian, karena adanya perubahan indikator PPP 2017 ke PPP 2021 per Juni 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah dari 60,3 persen menjadi 68,25 persen pada 2024.
Dengan perubahan ini, maka formula pendapatan penduduk dalam PPP yang menjadi acuan Bank Dunia berubah dari 6,85 dollar AS per kapita menjadi 8,30 dollar AS per kapita.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bahaya Data Garis Kemiskinan Tak Relevan, Jutaan Warga Miskin Tak Tersentuh Bansos"
Seribu Lebih Warga Bandung Tak Lagi Terima Bansos, Mereka Terindikasi Main Judi Online |
![]() |
---|
Siap-siap Bansos Beras 10 Kg Diperpanjang hingga Desember 2025, Cek Penerimanya |
![]() |
---|
Acuviarta Kartabi Ungkap Fakta Kemiskinan di Jabar Makin Dalam dan Parah |
![]() |
---|
Bansos Harus Tepat Sasaran, Pemda Diminta Serius Identifikasi Kemiskinan |
![]() |
---|
3 Cara Cek Penerima Bansos Bulan September 2025, Termasuk Insentif Guru Non-ASN hingga PKH |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.