Seniman Ini Olah Limbah Sampah Cangkang Telur dan Plastik Jadi Karya Seni Tinggi

i tangan Teguh J. Dwiyono, limbah justru menjelma jadi karya seni bernilai tinggi yang menginspirasi banyak orang. 

Penulis: Nappisah | Editor: Siti Fatimah
nappisah
LUKISAN - Teguh Dwiyono tengah menerangkan teknik lukisannya pada para pengunjung di Nayanika Art Gallery, Kota Bandung. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG — Sampah kerap dipandang menjijikkan, tak bernilai, bahkan menyusahkan. Tapi di tangan Teguh J. Dwiyono, limbah justru menjelma jadi karya seni bernilai tinggi yang menginspirasi banyak orang. 

Melalui pameran bertajuk “Sisa Menjadi Cipta” di Nayanika Art Gallery, Kota Bandung, yang berlangsung dari 23 hingga 25 Mei 2025. 

Pria yang akrab disapa Dwi ini membuktikan bahwa sisa bisa jadi cipta, dan sampah bisa menjelma menjadi pesan kehidupan.

Dengan tangan-tangan terampil dan jiwa seni yang mumpuni, Dwi menyulap sampah dapur seperti cangkang telur, kantong plastik, hingga styrofoam menjadi lukisan yang bukan hanya indah dipandang, tapi juga sarat akan pesan ekologis dan filosofi kehidupan.

“Setiap sampah yang kita buang sembarangan bisa jadi bencana. Tapi di tangan yang tepat, ia bisa berubah jadi berkah,” ujar Dwi, Sabtu (24/5/2025). 

Dwi bukan nama asing di dunia seni lingkungan.

Baca juga: Komunitas Baraya Sabar Manfaatkan Sampah Anorganik Jadi Karya Seni

Sejak 1995, ia mengembangkan teknik lukis dengan cangkang telur setelah secara tak sengaja menginjak kulit telur di dapur.

Ketika orang lain menganggapnya remeh, Dwi melihat potensi estetika dan simbol kehidupan dalam kulit tipis yang rapuh itu.

"Saya bereksperimen dengan cangkang telur ayam negeri, ayam kampung, telur bebek hingga telur puyuh. Dari eksperimen itu lahirlah lebih dari 40 varian warna alami, yang ia rangkai membentuk mosaik, figuratif, hingga abstrak," ujarnya, di lokasi, Sabtu (23/5/2025). 

Material ini pun tahan cuaca, tidak cepat rusak, dan bahkan tidak menarik semut.

Karyanya yang sarat akan napas ekologi ini pernah membawanya menerima penghargaan Rekor MURI pada 2005. 

Ia juga menjadi satu-satunya seniman Indonesia yang berpameran di Jerman dengan lukisan berbahan kulit telur. 
Tak berhenti di sana, karya-karya Dwi sempat laris di Amerika Serikat, Inggris, dan Bahrain. Bahkan pada tahun 2000, ia pernah mengekspor satu kontainer penuh ke mancanegara.

Di galeri mungil yang hangat dan estetik ini, pengunjung dapat menyaksikan deretan lukisan bertajuk: Bunga Bermekaran, Kebersamaan, Nyaman, Nafas Kehidupan, Naluri Kehidupan, Tari Barong, Bunga Matahari, Kupu-Kupu, Tanah Lot, Empang, Hitam-Putih Kehidupan, Gairah, Pohon, Kasih Sayang, Phoenix, Candi Borobudur, Plengkung Keraton, hingga Gunung Merapi.

Semuanya hasil olahan kulit telur dan limbah plastik.

Setiap karya bukan hanya menampilkan keindahan bentuk dan warna, tetapi juga mengisyaratkan kontemplasi mendalam tentang kehidupan, alam, dan tanggung jawab manusia terhadap bumi.

Menurut Antoni Sarijoyo, pendiri Nayanika Art Gallery, karya Dwi sangat selaras dengan visi galeri yang mengangkat seni dari bahan limbah. 

“Ini tentang kepedulian dan tanggung jawab kita semua terhadap keberlanjutan hidup. Kami sangat apresiatif kepada Pak Dwi yang tidak hanya berkarya, tapi juga mendidik masyarakat melalui seni daur ulang,” kata Antoni.

Baca juga: Puluhan Seniman Cilik Pamer Karya Seni di Garut, Mencerminkan Rasa Ingin Tahu

Dari Seni ke Aksi Sosial

Tidak hanya berkarya, Dwi juga membuka kelas seni daur ulang gratis bagi masyarakat. Dana operasionalnya berasal dari penjualan lukisan-lukisannya.

Dalam workshop yang juga digelar di lokasi pameran, ia mengajarkan teknik mengolah limbah menjadi karya seni bernilai jual.

Harapannya sederhana namun dalam, melahirkan duta-duta lingkungan yang bisa melanjutkan jejaknya.

 “Saya ingin mereka meneruskan, jadi pelukis dan mentor lingkungan hidup. Jangan buang plastik sembarangan, bawa saja ke tempat saya. Kita olah bersama-sama,” kata Dwi.

Kepedulian Dwi bukan isapan jempol. Pada masa krisis moneter 1998, ia merekrut dan melatih 32 orang yang terkena PHK untuk mengolah cangkang telur menjadi karya yang bisa dijual. Ia tak hanya menciptakan seni, tapi juga membuka lapangan kerja.

“Limbah yang terbuang itu 80 persennya plastik. Dan plastik bisa bertahan lebih dari seratus tahun tanpa terurai. Ini harus diolah, jangan dibiarkan merusak laut dan tanah,” katanya.

Yulia Diah Anggraini dari Jasa Raharja yang turut mendukung acara ini menyebut pameran ini kampanye cinta lingkungan . 

“Ini memperlihatkan bentuk kepedulian seorang seniman dalam wujud seni dan mencintai lingkungan, dapat merubah sesuatu yang kita anggap tidak berguna. Ini media kampanye cinta lingkungan yang efektif dan bernilai ekonomi,” ujarnya.

Yang mengejutkan, Dwi tak pernah mengenyam pendidikan formal seni rupa. Ia menempuh jalur otodidak. Darah seninya mengalir dari kakeknya yang seorang pelukis wayang kulit. Sejak kecil, ia sudah suka mencoret-coret dinding dan ubin rumah dengan kapur sisa mengajar ayahnya.

Meski sempat menjadi konsultan teknik sipil, ia memilih menanggalkan profesi tersebut demi mengejar hasrat sejatinya sebegai seorang seniman. 

Melalui karyanya, Dwiyono ingin menyadarkan masyarakat, bahwa limbah bisa menjadi berkah. Ia menggabungkan seni dengan upaya pelestarian lingkungan, seperti mengurangi sampah plastik yang butuh puluhan, bahkan ratusan tahun baru bisa terurai.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved