Catat Lonjakan Impor dan Kerusakan Stok Beras, IAW Desak Agar Audit BPK Tak Sekedar Jadi Dokumen

IAW menyatakan klaim gudang penuh perlu diverifikasi, apakah beras berasal dari produksi lokal atau justru dari impor.

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Tribun Jabar/Nazmi Abdurrahman
GUDANG BULOG - Stok beras di satu gudang Perum Bulog Kanwil Jawa Barat. Perum Bulog Jabar menambah 160 gudang untuk menampung gabah dan beras dari petani. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman soal gudang Bulog yang diklaim penuh karena lonjakan produksi beras memicu sorotan tajam. 

Ia bahkan menyebut serapan beras petani meningkat hingga 2.000 persen dalam waktu tiga bulan terakhir. Namun, di balik klaim optimistis itu, berbagai catatan audit justru menunjukkan kondisi sebaliknya.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyebut bahwa klaim Menteri Amran perlu diuji secara ketat, mengingat laporan-laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama sepuluh tahun terakhir memuat banyak persoalan mendasar.

"Klaim ‘gudang penuh’ perlu diverifikasi, apakah beras berasal dari produksi lokal atau justru dari impor? Karena BPK menemukan indikasi mark-up stok dalam lima tahun terakhir," ujar Iskandar, Selasa (20/5/2025). 

Menurut Iskandar, data BPK dari 2015 hingga 2024 mencatat kerugian negara akibat berbagai penyimpangan dalam tata kelola beras. 

“Pada 2017, kerugian mencapai Rp1,2 triliun karena pembelian beras di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Di tahun 2018, 35 persen Cadangan Beras Pemerintah (CBP) rusak karena penyimpanan yang tidak memadai,” imbuhnya. 

Dia menuturkan, laporan terbaru BPK pada 2024 menunjukkan adanya overstock fiktif sebesar 540.000 ton beras impor yang tidak tercatat dalam sistem Bulog

Potensi kerugian negara, lanjut Iskandar, diperkirakan mencapai Rp3,5 triliun.

Tak hanya soal beras, isu lonjakan impor singkong juga mendapat perhatian serius. 

Meski Menteri Amran menyatakan pengendalian impor singkong akan dilakukan lewat rapat koordinasi terbatas, kenyataannya, volume impor terus meningkat.

Berdasarkan data BPS dan LHP BPK, impor singkong naik dari 214.000 ton pada 2019 menjadi 900.000 ton pada 2024.

Nilainya pun melonjak dari USD 85 juta menjadi USD 175 juta. Temuan BPK mencakup penyimpangan izin impor serta dugaan keterlibatan kartel dalam tata niaga komoditas ini.

Situasi ini merugikan petani dalam negeri. Pada 2024, harga singkong lokal turun drastis hingga 30%, mengakibatkan kerugian senilai Rp1,2 triliun. 

Iskandar menyoroti bahwa tingginya subsidi pangan dalam APBN sejak 2020, yang naik 45%, tidak berbanding lurus dengan peningkatan produksi nasional.

"Tidak ada audit komprehensif yang benar-benar membongkar keberadaan mafia impor singkong. Padahal BPK bisa dan harus memeriksa keterkaitan antara importir dan pejabat negara," tegas Iskandar.

Pihaknya mendorong agar hasil audit tidak berhenti sebagai dokumen semata. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, verifikasi stok fisik di gudang Bulog serta asal muasal pembelian beras wajib dilakukan.

“Hal ini penting untuk memastikan tidak ada pelanggaran, apalagi jika dana bansos digunakan untuk menutup beban penyimpanan yang mencapai Rp2,8 triliun per tahun,” ujarnya. 

Selain audit terhadap impor singkong, pihaknya juga mendesak investigasi atas dasar hukum impor, potensi keuntungan tidak sah importir, dan hubungan antara pelaku usaha dengan pejabat negara. 

Menurutnya, jika ditemukan pembelian di atas HPP tanpa landasan hukum, Menteri Pertanian dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor.

“Tidak ada ruang untuk retorika di tengah krisis pangan. Publik butuh bukti, bukan janji,” kata Iskandar. (*) 

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved