Ratusan Warga Dua Desa Geruduk Kantor ATR/BPN Tasikmalaya, Minta Kejelasan Status Tanah

Bahkan ratusan warga menggelar aksi dengan membawa berbagai poster tuntutan

Penulis: Jaenal Abidin | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Priangan/ Jaenal Abidin
GERUDUK KANTOR - Kepala Kantor BPN Kabupaten Tasikmalaya Samsu Wijana ketika mendatangi ratusan warga dari dua desa yang menggelar aksi di halaman kantor tanah, Senin (19/5/2025). 

Laporan wartawan TribunPriangan.com, Jaenal Abidin 

TRIBUNJABAR.ID, KABUPATEN TASIKMALAYA - Ratusan warga dari Kecamatan Kadipaten dan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya menggeruduk kantor ATR/BPN Kabupaten Tasikmalaya, pada Senin (19/5/2025) siang.

Kedatangan warga dari Kampung Antralina, Desa Buniasih, Kecamatan Kadipaten, dan Kampung Picung, Desa Guranteng, Kecamatan Pagerageung, tersebut menuntut kejelasan status hukum atas tanah yang mereka tempati sejak puluhan tahun lalu.

Bahkan ratusan warga menggelar aksi dengan membawa berbagai poster tuntutan agar tanah relokasi yang mereka tempati saat terdampak bencana, dapat disertifikasi menjadi hak milik. 

Baca juga: 20 Tahun Menanti, Warga Terdampak Bencana di Majalengka Akhirnya Dapat Sertifikat Tanah

Warga menyatakan bahwa tanah yang mereka huni bukan merupakan tanah desa, melainkan tanah pangangonan milik negara yang diberikan bagi warga terdampak bencana pergeseran tanah.

“Kami masyarakat korban bencana alam, sudah puluhan tahun tinggal di sana, semua syarat sudah kami penuhi agar status hukum tanah yang masyarakat tempati jelas. Tapi hak kami belum juga diakui, Pemerintah seperti menutup mata,” kata korlap aksi, Dedi Supriadi, ditemui wartawan, saat menggelar aksi di halaman kantor ATR/BPN Kabupaten Tasikmalaya, Senin (19/5/2025).

Dedi mengaku, seluruh persyaratan administratif yang diminta BPN sudah dilengkapi sejak satu tahun lalu. Namun, ada permintaan syarat baru yang dinilai janggal dan menyulitkan proses redistribusi lahan. 

Dimana lahan tersebut diberikan oleh pemerintah kala itu guna merelokasi dan menyelamatkan masyarakat dari tempat permukiman awal yang terkena bencana alam pergerakan tanah. 

"Total ada sekitar 400 jiwa yang bermukim di lokasi tanah Pangangonan tersebut. Mereka merupakan korban terdampak bencana di tahun 1963 dan 1992 lalu," pungkasnya.

Senada dikatakan tokoh masyarakat Kampung Cipicung Desa Guranteng, Momo (66). Dirinya mengatakan, pihaknya sudah puluhan tahun tinggal di lahan Pangangonan, pasca tempat tinggalnya terdampak bencana pergerakan tanah. 

"Kedatangan di sini untuk meminta soal kejelasan tanah yang ditempati, supaya ada dasar hukum yang kuat bersama warga lain," ucap Momo.

Baca juga: Polisi Duga Sertifikat Tanah Pagar Laut Bekasi Disekolahkan ke Bank Swasta

Sementara Kepala Kantor BPN Kabupaten Tasikmalaya, Samsu Wijana, menyatakan bahwa pihaknya tidak tinggal diam atas tuntutan warga. Bahkan berkas permohonan sertifikasi tanah dari dua desa tersebut telah diterima dan tengah dalam proses verifikasi.

“Berkasnya sudah kami terima dan teliti. Kami juga sudah mendapatkan surat dari BPKAD dan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat yang menyatakan tanah pangangonan itu bukan aset provinsi, tapi sekarang tinggal menunggu kelengkapan dokumen dari tingkat kabupaten,” kata Samsu saat hadir menemui ratusan warga di halaman kantor ATR/BPN.

Diketahui, polemik status tanah pangangonan ini mencuat sejak 2 tahun terakhir. Tanah tersebut digunakan sebagai lahan relokasi bagi warga korban bencana dari Kampung Antralina Desa Buniasih Kecamatan Kadipaten serta warga dari Kampung Picung Desa Guranteng Kecamatan Pageurageung. 

Namun hingga kini, warga belum mendapatkan kepastian hukum atas lahan tersebut, meskipun telah menempatinya selama puluhan tahun.(*)

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved