Cerita Muazin Azan Pitu di Cirebon: Bukan Sekadar Kumandang, tapi Amanah Leluhur

Berbeda dengan azan di masjid pada umumnya, di masjid bersejarah ini azan dikumandangkan oleh tujuh muazin secara bersamaan

Penulis: Eki Yulianto | Editor: Seli Andina Miranti
Tribun Cirebon/ Eki Yulianto
MUAZIN AZAN PITU - Munadi, salah satu Muazin Azan Pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, ditemui di masjid, Sabtu (8/3/2025). 

"Jadi kita itu, lafadznya sama tapi tidak sama jumlah yang azannya. Pitu adalah penolong, pinolong yang artinya tolak bala," katanya.

Sementara itu, Pengurus Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Kiai Ahmad menjelaskan, bahwa tradisi Azan Pitu sudah ada sejak zaman Sunan Gunung Jati, salah satu anggota Wali Sanga.

Tradisi ini berawal dari upaya mengusir wabah penyakit yang melanda Keraton Cirebon, termasuk istri Sunan Gunung Jati, Nyimas Pakungwati.

"Di era Sunan Gunung Jati, salah satu istrinya yaitu Nyimas Pakungwati yang merupakan putri Mbah Kuwu Cirebon, Pangeran Cakrabuana, terkena wabah penyakit. Sehingga banyak masyarakat yang meninggal dan sakit," ujar Ahmad.

Sunan Gunung Jati kemudian mendapatkan petunjuk bahwa wabah akan hilang jika azan dikumandangkan oleh tujuh orang secara bersamaan.

Setelah dilakukan, wabah pun mereda dan masyarakat kembali sehat. Sejak saat itu, tradisi ini terus dijaga hingga sekarang.

Saat ini, Azan Pitu hanya dikumandangkan saat salat Jumat, bukan lagi di setiap waktu salat seperti pada masa lalu. 

Ahmad menambahkan, bahwa hanya kaum masjid yang dapat menjadi muazin Azan Pitu, karena mereka merupakan keluarga yang secara turun-temurun diangkat oleh sultan untuk mengurus masjid.

"Yang azan ini harus kaum masjid, yakni keluarga yang secara turun-temurun diangkat oleh sultan untuk mengurus masjid ini."

"Jadi tidak keluar dari kaum ini. Kaum ini jumlahnya hanya 30 orang. Diangkat oleh Sultan, kalau meninggal ya diganti lagi," ucapnya.

Sebagai muazin, Munadi mengaku bahwa tugas ini tidak hanya sebatas mengumandangkan azan, tetapi juga menjaga tradisi dan situs-situs bersejarah di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

"Ya perasaan bisa jadi muazin, tugas paling terberat ya. Karena memang benar-benar gitu kan ya, ada rasa senang juga."

"Yang kedua memang dari beberapa keturunan sampai sekarang ini ya kita menjalankan dengan amanah aja," jelas Munadi.

Ia berharap tradisi ini terus dilestarikan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Baca juga: Obrog Cirebon Siap Digelar, Tradisi Sahur Berbalut Seni yang Ramaikan Festival Ramadan 2025

"Karena ini masjid bersejarah, pemerintah juga harus mengerti untuk memelihara. Pengabdian untuk menjaga juga harus datang dari pemerintah dan masyarakat, jangan hanya dari kaum saja," katanya.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa sendiri dibangun pada tahun 1480 Masehi dan menjadi salah satu jejak penyebaran Islam di Cirebon.

Masjid ini selalu dipadati jemaah, terutama saat salat Jumat dan bulan Ramadan, baik oleh warga sekitar maupun peziarah dari luar daerah.

Sumber: Tribun Cirebon
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved