Pengamat Ekonomi Unpas: Pemerintah Harus Klasifikasi Barang Mewah dalam Penerapan PPN 12 Persen

klasifikasi barang mewah harus jelas, mengingat bahwa konsumsi barang tersebut umumnya berasal dari masyarakat dengan pendapatan tinggi. 

Penulis: Nappisah | Editor: Muhamad Syarif Abdussalam
Wartakota
Ilustrasi kenaikan pajak 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Nappisah

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, menilai penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada barang mewah penting untuk mengklasifikasi dengan jelas barang-barang apa saja yang termasuk dalam kategori barang mewah yang dikenakan PPN. 

Hal ini, katanya, akan mempengaruhi dampak yang dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok berpendapatan tinggi.

"Saya kira kalau secara langsung dibebankan, pasti akan berdampak pada kelompok masyarakat yang berpendapatan lebih tinggi. Namun, efek dari kenaikan konsumsi barang mewah ini juga bisa memengaruhi sektor lain, karena tidak mungkin ada korelasi antara transaksi barang mewah dengan pajak pada komoditas lain," ujarnya, kepada Tribunjabar.id, Senin (9/12/2024). 

Dia menekankan bahwa klasifikasi barang mewah harus jelas, mengingat bahwa konsumsi barang tersebut umumnya berasal dari masyarakat dengan pendapatan tinggi. 

Meski begitu, ia mengingatkan bahwa kebijakan ini tetap bisa berdampak pada masyarakat berpendapatan rendah, terutama jika mereka terlibat dalam konsumsi barang mewah atau terpengaruh oleh kenaikan harga barang-barang tersebut.

Disinggung soal dampak kebijakan ini terhadap masyarakat kalangan menengah, dia mengungkapkan bahwa meskipun barang mewah seperti tas atau barang bermerek mahal akan terimbas PPN, banyak barang lain yang layak dikonsumsi oleh kalangan menengah, yang mungkin tidak termasuk dalam kategori barang mewah. 

Hal ini, menurutnya, memberi ruang bagi kalangan menengah untuk tetap mengakses barang-barang yang dibutuhkan tanpa terpengaruh langsung oleh kebijakan tersebut.

"Barang-barang yang masuk kategori barang mewah dengan harga tinggi seperti tas branded memang merupakan bagian dari pilihan konsumsi masyarakat berpendapatan tinggi. Jika PPN naik, hal itu tentu akan berpotensi menurunkan permintaan terhadap barang-barang tersebut," jelasnya.

Acuviarta juga menilai soal dampak impor barang mewah. Barang-barang impor yang dikenakan PPN 12% akan memengaruhi harga jualnya di pasar domestik, yang bisa berujung pada penurunan konsumsi barang mewah tersebut. 

Ia juga menyoroti pentingnya perhatian terhadap sektor fiskal dan tujuan utama penerapan PPN tersebut.

"Tujuan penerapan PPN 12% ini sebenarnya untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengatasi defisit APBN," katanya. 

Dia menuturkan, peningkatan belanja pemerintah yang berkaitan dengan sektor-sektor tertentu, diiringi meningkatnya bunga pinjaman pemerintah, menjadi salah satu alasan pentingnya pendapatan pajak yang lebih besar.

Acuviarta juga menyarankan pemerintah untuk menggali potensi penerimaan negara bukan pajak, seperti yang ada di sektor pertambangan dan kehutanan, serta memperbaiki kinerja BUMN yang masih banyak mengalami kerugian. 

Menurutnya, ada banyak alternatif lain untuk menambah pemasukan negara tanpa mengandalkan sepenuhnya pada PPN. (*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved