Ramai Ajakan Frugal Living dan Kurangi Belanja, Seruan Protes Kenaikan PPN 12 Persen, Ini Dampaknya

Warganet tengah ramai menyerukan aksi boikot dengan menerapkan frugal living dan mengurangi belanja imbas kenaikan tarif PPN 12 persen

TRIBUN JABAR/DARAJAT ARIANTO
ILUSTRASI belanja ritel kebutuhan pokok (sembako) di supermarket minimarket 

"Pemerintah sebenarnya ingin rasio pajak naik tapi memukul perekonomian, mengubah pola konsumsi masyarakat, memperbesar underground economy," tegasnya.

Baca juga: PPN Naik Jadi 12 Persen Tahun Depan, Pengamat Soroti Dampaknya pada Daya Beli Masyarakat dan UMKM

Dampak boikot PPN 12 persen

Bhima menerangkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen sebenarnya dilakukan pemerintah untuk menaikkan rasio atau pendapatan negara dari pajak dengan target 23 persen pada 2029.

"Sebenarnya enggak perlu diberi seruan-seruan belanja di warung. Otomatis konsumsi masyarakat berubah ketika gaji atau pendapatan tidak sesuai kenaikan harga barang-barang," jelas dia. 

Sayangnya, aksi belanja di warung-warung kecil atau mengurangi belanja selain kebutuhan pokok, akan merugikan perusahaan-perusahaan ritel modern. 

Pasar perusahaan ritel modern akan berkurang saat banyak orang memilih belanja di warung kecil. 

Padahal, perusahaan ritel termasuk penyerap tenaga kerja yang cukup besar di sektor perdagangan. Bhima menekankan, konsekuensi-konsekuensi ini akan dialami Indonesia kalau pemerintah meneruskan rencana PPN 12 persen.  

Daripada menaikkan PPN menjadi 12 persen, Bhima menilai pemerintah sebaiknya mencari alternatif lain untuk menambah penerimaan pajak untuk negara. 

"Celios menyodorkan (saran penerapan) pajak kekayaan atau wealth tax yang bisa capai (pemasukan) Rp 81,6 triliun," ungkapnya. 

Pemerintah juga bisa menerapkan pajak produksi batu bara dan implementasi pajak karbon. 

Bhima juga menyarankan pemerintah untuk menutup insentif pajak yang tidak tepat sasaran, demi membantu menyelamatkan potensi pajak yang hilang. 

Contoh pajak yang tidak tepat sasaran adalah insentif tax holiday dan tax allowance yang memberikan pembebasan atau pengurangan pajak untuk menarik investasi asing. 

Kedua insentif itu dinilai bertentangan dengan Global Minimum Tax atau ketetapan yang menerapkan batas minimum tarif pajak terhadap perusahaan internasional. 

"Dampak pemberian insentif pajak ternyata tidak mampu dorong porsi industri terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dan nilai tambah yang dihasilkan kecil," tandas Bhima.

Baca berita Tribun Jabar lainnya di GoogleNews.

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved