Soal Tapera, Tetep Abdulatif: Duit yang Kurang Mampu Makin Berkurang, Harusnya Dibantu Bukan Diambil

Tetep menyebutkan jika Tapera  diambil dari mereka yang memiliki pendapatan yang cukup lumayan, dampaknya tidak akan terlalu terasa.

Penulis: Aldi M Perdana | Editor: Kemal Setia Permana
Kolase Istimewa/tangkapan layar
Penolakan Tapera datang dari berbagai kalangan, mulai dari pekerja, legislatif hingga selebritis. 

Laporan Jurnalis TribunPriangan.com, Aldi M Perdana

TRIBUNJABAR.ID, - Presiden Jokowi telah mengeluarkan kebijakan terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang wajib bagi semua pekerja, baik PNS maupun swasta.

Kebijakan ini ditandatangani Presiden per 20 Mei 2024 lalu.

Diketahui, simpanan peserta Tapera ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah pekerja atau penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.

Bagi peserta pekerja, ditanggung bersama pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen, sedang untuk peserta pekerja mandiri, seluruh simpanan ditanggung olehnya.

Aturan tersebut tertuang dalam pasal 15 Tapera.

Kehadiran Tapera yang digadang-gadang menjadi solusi bagi masyarakat untuk memiliki rumah menuai penolakan dari sejumlah pihak.

Ketua Komisi IV DPRD Jawa Barat, Tetep Abdulatip, menyoroti kebijakan Tapera yang banyak ditolak para pekerja.

Tetep menyebutkan jika Tapera  diambil dari mereka yang memiliki pendapatan yang cukup lumayan, dampaknya tidak akan terlalu terasa.

"Tapi kalau untuk mereka yang hanya makan saja repot atau bahkan tidak cukup, ya apalagi untuk bayar iuran Tapera?" kata Tetep, Selasa (11/6/2024).

Bahkan, Tetep menilai kemungkinan anggaran untuk belanja makan mereka pun akan terkurangi.

"Akan terkurangi, mereka yang seperti itu justru sudah selayaknya mendapat bantuan langsung dari pemerintah, bukannya diambil untuk menabung," 

"Kenapa bantuan kayak Rutilahu misalnya, jangan hanya Rp20 juta. Coba beri bantuan yang layak, yang cukuplah untuk 1 rumah sederhana, Rp 60-70 juta misalnya,"

"Iitu bisa jadi rumah sederhana, tapi untuk mereka-mereka yang benar-benar tidak mampu," kata Tetep.

Sedangkan bagi masyarakat yang mampu menyisihkan pendapatannya untuk memiliki rumah, menurut Tetep, terkadang juga perlu difasilitasi.

"Buat mereka yang bisa menyisihkan, tapi kadang-kadang tidak bisa menyisihkan kalau tidak difasilitasi, ya difasilitasi untuk menyisihkan," 

"Lebih bagus lagi, kerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan. Lembaga-lembaga keuangan tersebut yang membuatkan rumah untuk mereka, dan mereka menyicil tanpa anggunan. Itu kan lebih bagus. Lebih mudah," 

Dengan begitu, menurut Tetep cicilan tersebut aka terjangkau bagi masyarakat lantaran dibantu pemerintah.

"Kemudian, mereka juga tidak pakai DP, karena DP-nya juga dibantu pemerintah. Jadi kayak BPJS, mereka iuran, tapi dibantu oleh pemerintah biaya yang besarnya," analogi Tetep.

Jika pola BPJS diterapkan pada program mendapatkan rumah bagu masyarakat yang kurang mampu, Tetep menilai akan lebih mempermudah.

Tetep menegaskan bahwa masyarakat yang benar-benar tidak mampu itu justru harus dilindungi dan dibantu negara.

Tinggal bagaimana negara mengambil dari yang mampu untuk disubsidikan kepada mereka yang kurang mampu.

"Justru di situlah peran negara, dan itu berlaku juga kepada perwakilan negara sampai ke tingkat yang paling bawah di kabupaten-kota, termasuk di provinsi," ujar Tetep.(*)

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved